Monday 18 March 2013

JINAYAH & JARIMAH


BAB I
PENGERTIAN JINAYAH DAN JARIMAH



Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas dalam jinayah. Dalam kitab-kitab klasik, pembahsan masalah jinayat ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran (objek) badan dan jiwa saja. Adapun perbuatan dosa selain sasaran badan dan jiwa, seperti kejahatan terhadap harta, agama, Negara dan lain-lain tidak termasuk dalam jinayat, melainkan dibahas secara terpisah-pisah pada berbagai bab tersendiri. Ulama-ulama Muta’akhirin menghimpunya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayat, yang dikenal dengan istilah Hukum Pidana Islam. Di dalamnya terhimpun pembahasan semau jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.



Pembahasan terhadap masalah yang sama dalam ilmu hukum, dinamai Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, strafrecht. Buku atau kitab yang memuat rincian perbuatan pelanggaran atau kejahatan dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan tersebut dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam bahasa aslinya dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht.
Dalam mempelajari fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang trlebih dulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan dipahami agar penggunaanyya tidak keliru.

Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan  jaani yang merupakan bentuk singular bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkara sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya dia (wanita) yang telah berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari perbautan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.
Dr. Abdul Kadir audah dalam kitabnya At-Tasyri Al Jina’I Al Islamy menjelaskan arti kata jinayah sebagai berikut :

Artinya:
“Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’, baik perbuatan terebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda.”
Jadi, pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh Syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda.
Menurut aliran (mazhab) Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian jinayah ini. Kata jinayah hanya diperuntukkan bagi semua perbuatan yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, seperti melukai atau membunuh. Adapun perbuatan dosa atau perbuatan salah yang berkaitan dengan objek atau sasaran barang atau harta benda, dinamakan ghasab. Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencurian dipisahkan dari pembahasan jinayah, yang hanya membahas kejahatan atau pelanggaran terhadap jiwa atau anggota badan. Jadi, pembahasan tentang jinayah dikhususkan bagi kejahatan terhadap jiwa dan anggota badan, sedangkan masalah yang terkait dengan kejahatan terhadap benda diatur  pada bab tersendiri. Adapun aliran atau mazhab lain, seperti aliran Asy-Syafi’I, Maliki, dan Ibnu hambal, tidak mengadakan pemisahan antara perbuatan jahat terhadap jiwa dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda (pencurian dan kejahatan terhadap harta benda lainnya). Oleh karena itu, pembahasan keduanya (kejahatan terhadap anggota badan, jiwa dan harta benda) diperoleh dalam jinayah.
Tanpa berusaha memihak aliran yang berbeda tadi, kata jinayah yang berarti perbuatan jahat, salah, atau pelanggaran sudah inklusif (mencakup) segala  bentuk kejahatan, baik terhadap jiwa ataupun anggota badan. Oleh karena itu, kejahatan terhadap harta benda sexcara otomatis termasuk dalam pembahasan jinayah, tanpa perlu diadakan pemisahan dalam pembahasan di antara keduanya.
Disamping itu, pengertian jinayah pada awalnya diartikan hanya bagi semua jenis perbuatan yang dilarang saja. Jadi, melalaikan perbuatan yang diperintahkan dalam konteks pengertian tersebut bukanlah jinayah. Padahal suatu perbuatan dosa, perbuatan salah, dan sejenisnya dapat berupa perbuatan ataupun berupa meninggalkan perbuatan yang diperintahkan melakukannya. Hal ini karena pelanggaran terhadap peraturan dapat berbentuk mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang (bersifat aktif) atau meninggalkan perbuatan yang berdasarkan hukum harus dikerjakan (bersifat pasir).
Istilah yang kedua adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi, pengertian jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.
Adapun pengertian jarimah sebagai berikut:


Artinya:
“Larangan-larangan Syara’ (yang apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.”

Dalam hal ini seperti halnya kata jinayah kata jarimah pun mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau meninggalkan, aktif ataupun pasir. Oleh karena itu, perbuatan jarimah bukan saja mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah kalau seseorang meninggalkan perbuatan yang menurut peraturan harus dia kerjakan. Abdul Qadir Audah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan bahwa kata                           (larangan) seperti yang termaktub dalam definisi di atas menjelaskan sebagai berikut :

Artinya:
“Yang dimaksud dengan mahdhurat (larangan) adalah melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan.”
Dari penjelasan tersebut, dapatlah kita pahami bahwa kata mahdrat mengandung dua pengertian. Pertama larangan berbuat artinya dilarang mengerjakan perbuatan yang dilarang, Kedua, larangan tidak berbuat atau larangan untuk diam artinya meninggalkan (diam) terhadap perbuatan yang menurut peraturan harus dia kerjakan. Walaupun pengertian antara jinayah dengan jarimah sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari, kedua kata tersebut dapat kita bedakan.
Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa-bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan dosa tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu kita sebut dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan tadi. Oleh karena itu, kita menggunakan istilah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan, dan jarimah politik dan bukan istilah jinayah pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan dan jinayah politik.
Dari uraian di atas dapat kita ambil pengertian bahwa kata jinayah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana  atau pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam hukum positif, contoh-contoh jarimah diatas (jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dan sebagainya) diistilahkan dengan tindak pidana pencurian, tindak pidana pembunuhan, dan sebagainya. Jadi, dalam hukum positif, jarimah diistilahkan dengan delik atau tindak pidana. Dalam hukum positif juga dikenal istilah, perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbutan yang boleh dihukum yang artinya sama dengan delik. Semua itu merupakan pengalihan dari bahasa Belanda, strafbaar feit. Dalam pemakaian istilah delik lebih sering digunakan dalam ilmu hukum secara umum, sedangkan istilah tindak pidana seringkali dikaitkan terhadap korupsi, yang dalam undang-undang biasa dipakai istilah perbuatan pidana.
Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan  bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut Fiqih Jinayah dan bukan istilah Fiqih Jarimah.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari kedua istilah tersebut adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya secara etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal, mempunyai arti yang sama serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi negative, salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan, serta dalam rangkaian apa kedua kata itu digunakan.



BAB II
HUBUNGAN JARIMAH DENGAN LARANGAN SYARA

Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suaatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri atau gangguan nonfisik, seperti ketenangan, ketenteraman, harga diri, adapt istiadat, dan sebagainya.
Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tidak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut. Sanksi sangat diperlukan untuk mendukung  peraturan  yang dikenakan kepada perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Di samping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang lain. Dengan demikian terpeliharalah kepentingan umum.
Tanpa dukungan sanksi yang menyertai larangan atau pirintah, kita tidak dapat berharap banyak akan terciptanya kemaslahatan umum yang kita dambakan. Dalam upaya menciptakan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kehidupan dalam bermasyarakat, kita tidak bias hanya mengandalkan keimanan, niat baik, kejujuran, dan sebagainya dari anggota masyarakat. Tanpa iming-iming ancaman sanksi hukum,  pelanggaran selamanya akan menjadi preseden buruk di kemudian hari. Pelaku kejahatan akan bercermin kepada pelaku kejahatan yang sama yang lolos dari sanksi. Bahkan kalau kita kembalikan kepada kecenderungan sifat manusia tadi yang selalu memilih yang menguntungkan dirinya, ketiadaan sanksi yang jelas dapat mengundang seseorang untuk mencoba-coba melanggar aturan tadi. Akhirnya, terjadi anarki dan kemaslahatan umum pun hanya merupakan fatamorgana yang tak mungkin singgah dalam kenyataan.
Tanpa menutup mata dari realitas yang ada dalam kehidupan kita, dapat kita lihat banyak di antara mereka yang berhati luhur dan berakhlak mulia. Mereka berbuat kebaikan tidak meninggalkan kewajiban, bukan karena ketakutan mereka terhadap ancaman sanksi, melainkan berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan niat baik mereka. Namun jumlah mereka walaupun tidak teredapat data yang akurat, populasinya sangat sedikit. Di sekeliling mereka dengan populasi yang jauh lebih besar bertebaran secara spradis orang-orang yang hanya mau tunduk karena ancaman sanksi dan takut hukum. Bahkan, mereka yang berbuat baik karena keimanan, niat baik atau berakhlak baik pun sangat rentan terhadap perubahan niat, kondisi, dan situasi. Hal itu menuntut adanya tindakan antisipatif atau pagar pengaman agar mereka tidak keluar dari koridor yang baik. Oleh karena itu, larangan tanpa ancaman sanksi, sangat tidak efektif, tidak realitas, dan hampir tidak mungkin.
Hukuman, ancaman, sanksi memang bukan merupakan sesuatu yang maslahat (baik), bahkan sebaiknya hukuman itu akan berakibat buruk, menyakitkan, menyengsarakan, membelenggu kebebasan bagi pembuat kejahatan. Namun, bila dibandingkan dengan kepentingan orang banyak, kehadiran peraturan beserta sanksi hukumnya sangat diperlukan. Jadi, apalah arti penderitaan segelintir pelaku jarimah kalau obsesi kemaslahatan umum yang kita dambakan. Oleh karena itu, walaupun harus mengorbankan segelintir orang si pembuat jarimah sanksi hukum sangat diperlukan, demi kepentingan yang bersifat lebih besar dan lebih banyak.
Berbuat jarimah itu memang menguntungkan si pelaku dan ini memang sesuai dengan kecenderungan manusia untuk memilih yang erbaik bagi dirinya, dan menguntungkan dirinya mencuri, menipu, atau berzina, tidak menunaikan kewajiban zakat bisa jadi membawa keuntungan bagi pelaku pidana atu jarimah baik yang bersifat materi atau non materi. Akan tetapi, semua itu sama sekali bukanlah yang mendasri pertimbangan syarat melarang perbuatan tersebut. Artinya, bukan keuntungan perseorangan yang menjadi bahan pertimbangan bahwa mencuri, berzina, tidak mengeluarkan zakat itu dilarang. Syara tidak melarang mereka mencari, mengumpulkan, serta menggunakan harta tersebut, juga tidak melarang seseorang bersenang-senang dengan wanita. Akan tetapi, perilaku mereka itu berdampak merugikan masyarakat banyak, merusak tatanan, dan melanggar kesusilaan. Namun bila dilakukan melalui prosedur yang sah, semau itu sangat dianjurkan.
Jadi, dasar pertimbangan suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah atau tindak pidana, bukanlah karena keuntungan yang sifatnya individual, tetapi adanya konotasi larangan tersebut, yaitu merugikan kepentingan social. Jadi, kesimpulan diadakannya peraturan, baik perintah maupun larangan sudah tentu berikut sanksi-sanksinya semata-mata bagi kepentingan orang banyak, bukan kepentingan orang per orang.
Dalam hal ini Allah SWT, sebagai pembuat syari’at, pembuat peraturan, sama sekali tidak menerima keuntungan andaikata seluruh isi ala mini menaati seluruh peraturannya. Sebaliknya, kedurhakaan seisi ala mini pun tidak akan merugikan Allah SWT.
Esensi untuk menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana atqau jarimah, antara hukum islam dan hukum positif, bertemu dalam suatu pendirian, dalam suatu tujuan yaitu, terpeliharanya kepentingan masyarakat, ketenteraman hidup, dan kelangsungan hidup masyarakat. Meskipun ada kesamaan persepsi dalam hal tujuan tersebut, hukum Islam dalam menetapkan suatu jarimah, tidak bergntung pada ada tidaknya kerugian dari hasil perbuatan jarimah tadi. Seperti kita ketahui, tujuan dari kehadiran agama Islam adalah penyempurnaan akhlak umatnya. Oleh karena itu, segala perilaku akan dihadakan pada moral tersebut, tak terkecuali halnya dengan jarimah. Jadi, suatu perbuatan itu dinamai jarimah atau bukan bergantung pada sifatnya yaitu apakah perbuatan tersebut bertentangan dengan moral atau tidak. Kalau perbuatan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan moral, dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak, perbuatan tersebut dianggap sebagai jarimah.
Tolok ukur suatu jarimah (delik, tindak pidana) dari moral atau akhlak tersebut, tidak berarti meniadakan unsur kerugian. Lagi pula jarimah-jarimah tertentu, terutama yang menyangkut kesusilaan, unsur kerugiannya relative sulit dibuktikan. Jadi, penetapan suatu jarimah yang menyangkut kesusilaan akan terlepas dari jangkauan hukum. Di sampig itu, pada dasarnya kerugian yang diderita oleh korban baik perseorangan maupun masyarakat buruk (jarimah, tindak pidana) yang merugikan orang lain itu bermuara dari buruknya akhlak pelaku jarimah.
Hal ini adalah suatu perbedaan yang prinsipnya, suatu nilai lebih dari hukum Islam disbanding dengan hukum positif, di samping kesamaan yang telah kita ketahui. Sesuai dengan misi awalnya, hukum Islam sangat menjungjung tinggi akhlak. Sebaiknya pihak hukum positif nyaris melupakannya. Hukum Islam menganggap suatu perbuatan itu bertentangan dengan akhlak atau tidak, kalau ya, maka ada tidaknya kerugian, tetap dianggap sebagai jarimah.
Hukum positif tidaklah demikian. Sesuatu perbuatan itu digolongkan tindak pidana atau bukan bergantung pada ada tidaknya kerugian atau yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, berangkat dari untung rugi, pelanggaran terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak dianggap sebagai tindak pidana dan merupakan sesuatu yang masuk akal. Ini karena hukum positif merupakan produk Barat, dan kita mahfum Barat memang longgar terhadap moral maka hukumnya pun menganaktirikan akhlak.
Sebagai ilustrasi, dapat penulis kemukakan sebuah contoh yang beerasal ari Barat. Dalam sebuah rubric yang dimuat surat kabar Pikiran Rakyat, kira-kira belasan tahun yang lampau disebutkan dalam sebuah perjalanan di sebuah kereta api subway (bawah tanah), dua orang remaja melakukan perbuatan yang  menurut etika Islam, bukan saja tidak pantas dilakukan di tempat umum ataupun secara sembunyi, bahkan dianggap perbuatan bejat. Mereka bercumbuan dengan asyik masyuknya di atas bangku kereta dengan leluasa, seolah-olah tidak seorang pun melihat mereka. Tentu saja perbuatan tersebut mengundang perhatian penumpang lainnya, termasuk mereka yang  lalu lalang mencari tempat duduk. Akibatnya, terjadi antrian panjang di bagian tengah kereta api. Beberapa lama kemudian petugas mengetahui penyebabnya, maka di tempat pemberhentian (stasiun) berkutnya, kedua remaja itu digelandang petugas, namun tak lama kemudian keduanya dilepaskan kembali. Petugas itu hanya menganggap mereka mengganu lalu lintas di dalam kerta, tidak ada sanksi yang menyertqai pembebasan keduanya. Keputusan tersebut memang konstitusional (menurut versi mereka), sebab jangankan Cuma bercumbu di hadapan umum, zina sendiri bukan barang haram kalau dilakukan bukan dengan paksaan atau dilakukan dengan kesenangan kedu belah pihak.
Dalam kasus itu, bahkan kasus induknya sekalipun (zina atau prostitusi), sangat sulit dibuktikan adanya kerugian yang diderita pelaku. Siapa yang menjadi korban dari perbuatan itupun sama sulitnya untuk dibuktikan. Boleh jadi, keduanya untung alias tidak ada yang rugi. Jadi, kalau tidak ada yang merasa dirugikan, untuk apa lagi adanya sanksi. Paling-paling, yaitu tadi, mengganggu lalu lintas, kalau lalu lintas sudah normal atau tidak terganggu lagi, Cuma saja tidak disuruh, lakukanlah apa mau Anda.
Dalam hukum Islam contoh kauss di atas bukan dianggap sekadar mengganggu ketertiban. Perbuatan itu akan dianggap sebagai tindak pidana atau jarimah-walaupun belum sampai ke dalam jarimah zina dan pasti akan dihukum. Malahan menurut kami, perbuatan tersebut dihukum sangat berat sebab dilakukan se ara demontratif, yang menandakan bahwa pelakunya bukan sekadar bercumbu, tetapi congkak terhadap ketentuan Allah. Apalagi kalau diniatkan untuk melawan ketentuan Allah, menghalalkan yang  haram, yang bisa dapat dianggap murtad dan hukumnya harus lebih berat lagi.
Mengapa harus dihukum padahal tidak ada yang merasakan kerugian dalam kasus seperti itu? Sebab Islam menjunjung tinggi akhlak dan setiap pelanggaran akhlak pasti akan dihukum, dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak. Perzinaan dan perbuatan ikutannya adalah pelanggaran akhlak sehingga pelakunya harus dihukum. Bahkan, seperti yang akan kita bahas annti-perzinaan dianggap sebagai perbuatan tindak pidana yang dikelompokkan dalam jenis jarimah yang berat hukumannya, bukan sekadar menggangu ketertiban. Kalau hanya dianggap hanya menggangu ketertiba, perzinaan akan dilakukan secara tertib, tidak menggangu, tersembunyi bahkan terorganisasi dengan baik. Dalam bentuk-bentuk seperti itu, unsur menggannggu ketertiban sama sekali tidak ada, melainkan hanya untuk menyenangkan pelaku dan menguntungkan pengelola.



BAB III
BENTUK-BENTUK JARIMAH

Bergantung pada sudut pandang mana kita melihatnya atau aspek yang ditonjolkan, jarimah dapat dibagi menjadi bermacam-macam bentuk dan jenis. Macam-macam jarimah sesuai aspek yang dilihat terbagi atas:
A.      Dilihat dari Pelaksanaannya
Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah  itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang ataukah si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang diperintahkan. Kalau si pelaku mengerjakan perbuatan yang terlarang, ia telah melakukan jarimah secara ijabiyyah, artinya aktif dalam melakukan jarimah tadi, atau dalam bahasa hukum positif dinamai delict commisionis. Si pelaku jarimah jenis ini telah melakukan perbuatan maksiat, mengerjakan perbuatan yang dilarang melaksanakannya, seperti mencuri, berzina, mabuk-mabukan, membunuh, dan sebagainya. Bentuk kebalikannya adalah si pelaku jarimah salabiyah, artinya pelaku pasir, tidak berbuat sesuatu atau dalam hukum positif dinamai delict ommisionis, seperti tidak melakukan sholat, tidak membayar zakat, tidak menolong orang lain yang sangat membutuhkan padahal dia sanggup melaksanakannya. Sebagian ulama dalam kaitannya dengan aspek ini, memunculkan bentuk campuran ijabiyyah (aktif) dengan salabiyyah (pasir), seperti dicontohkan dalam kasus seperti ini, seorang bermaksud membunuh tawanan, namun tidak dilakukan dengan cara membunuhnya, melainkan dengan menahan yang bersangkutan di satu tempat tanpa memberinya makan dan minum sampai si tertawan itu mati. Maka si penwan tadi didakwa telah membunuh dengan tidak berbuat sesuatu, yaitu tidak memberi makan dan minum.
B.      Dilihat dari Niatnya
Pembagian jarimah dari sudut pandang ini, terbagi ke dalam dua bagian. Petama adalah jarimah-jarimah yang disengaja  atau jaraim al-makshudah, yang diniati bahkan direncanakan. Contohnya adalah seorang masuk ke rumah orang lain dengan maksud untuk mencuri sesuatu dari rumah tersebut. Bentuk kebalikan dari jarimah ini adalah jarimah tidak disengaja atau jaraim ghoir makshudah. Bentuk jarimah ini dapat terjadi karena pertama, yaitu karena kekeliruan. Perbuatan karena kekliruan ini, sengaja dilakukannya, namun hasil yang didapat tidak dikehendaki oleh pelakunya. Seperti seorang melempar batu untuk mengusir binatang, tiba-tiba batu tersebut mengenai orang lain. Celaknya orang lain tersebu adalah karena kekeliruan, bukan kesengajaan, dia hanya sengaja melempar batu untuk mengusir binatang, tetapi keliru hasilnya. Contoh lainnya adalah orang menakut-nakuti dengan senjata, tetapi senjata tersebut mengenai orang yang ditakut takuti tadi, dan sebagainya. Kedua, karena kelalaian, yaitu suatu perbuatan yang sama sekali tidak disengaja, baik perbuatan itu sendiri maupun hasil dari perbuatannya. Contohnya adalah seseorang membakar sampah dengan maksud membersihkan sekeliling rumahnya. Tanpa sepengetahuannya, api membesar dan membakar sesuatu milik orang lain. Contoh lainnya adalah seseorang yang telah melakukan suatu pekerjaan dia tidak menyimpan alat-alat kerjanya, seperti golok. Karena kelupaan dan kelelahannya, golok itu dibiarkannya tergeletak di luar dan kemudian menjadi penyebab kecelakaan bagi orang yang lalu lalang.
C.      Dilihat dari Objeknya
Aspek yang juga dapat membedakan bentuk jarimah adalah aspek korban. Dalam hal ini  dapat dibedakan apakah hasil dari jarimah tersebut mengenai perseorangan atau kelompok masyarakat. Jika yang menjadi korban itu perseorangan disebut jarimah perseorangan dan jika yang menjadi korban itu masyarakat disebut jarimah masyarakat. Sebagian ulama mengatakan, bila korban tersebut perseorangan,  jarimah tersebut menjadi hak adami (hak perseorangan), namun bila korbannya masyarakat, jarimah tersebut menjadi hak jama;ah (hak Allah).
D.     Dilihat dari Motifnya
Dalam keseharian, kita sering mendengar kata-kata tindak pidana yang dikaitkan dengan masalah kenegaraan, pemerintahan, atau sesuatu yang sifatnya politis. Jarimah politik adalah jarimah yang dilakukan dengan maksud-maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan politik dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan yang sah pada waktu situasi yang tidak normal, seperti pemberontakan bersenjata, mengacaukan perekonomian dengan maksud-maksud politis, dan sebagainya. Sedangkan jarimah-jarimah yang tidak bermuatan politik dinamai jarimah biasa, seperti mencuri ayam atau barang-barang lainya atau membunuh atau menganiaya orang-orang kebanyakan (orang biasa).
E.      Dilihat dari Bobot Hukuman
Para ulama membagi masalah jinayah menjadi tiga bagian. Pembagian ini didasarkan terhadap bobot hkuman yang dikenakan terhadap pelaku jarimah, sedangkan hukuman itu sendiri didasarkan atas ada tidaknya dalam nas Al-Qur’an atau As-Sunnah. Namun, ada pula sebagian ulama yang membaginya menjadi dua bagian karena memasukkan masalah qishash/diyat dalam kelompok hudud, di antaranya Al-Mawardy, yang mendefinisikan jarimah sebagai berikut:
Artinya:
“Larangan-larangan syarat yang diancam Allah Ta’ala dengan hukuman had dan ta’zir.”
Dari definisi tersebut, terdapat kata qishash secara eksplisit. Oleh karena itu, secara implicit qishash termasuk dalam kelompok jarimah hudud. Hal ini karena qishash/diyat dilihat dari segi dtentukannya jenis jarimah dan jenis sanksi hukum oleh Al Qur’an atau Hadis Nabi sama halnya dengan jarimah hudud, qishash/diyat masuk ke dalam kelompok hudud.
Namun pada umumnya para ulama membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, berikut ini.
1.      Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah suatu jarimah yang bentuknya telah dientukan syara sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga ditentukan hukumannya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Lebih dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Tuhan. Jarimah-jarimah yang menjadi hak Tuhan, pada prinsipnya adlah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentramana, dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, hak Tuhan identik dengan hak jamaah atau hak masyarakat, maka pada jarimah ini tidak dikenal pemaafan atas perbuat jarimah, baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah (mujnaa alaih) maupun oleh negara.
Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukkan bagi setiap jarimah. Karena hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak mempunyai batas tertinggi maupun terendah seperti layaknya hukuman yang lain.
Dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelaku yang telah nyata-nyata berbuat jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud tentu dengan segala macam pembuktian, hakim tinggal melaksanakannya apa yang telah ditentukan syara. Jadi, fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan, tidak berijtihad dalam memilih hukuman.
Karena beratnya sanksi yang  akan diterima si terhukum kalau dia memang bersalah melakukan jarimah ini, maka penetapan asas legalitas bagi pelaku jarimah ini harus ekstrahati-hati, ketat dalam penerapannya serta tidak ada keraguan sedikitpun bagi hakim dalam penrapannya. Mengapa harus demikian? Karena sanksi jarimah hudud menyangkut hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan si pembuat jarimah. Dengan demikian, kesalahan vonis, kesalahan dalam menentukan jarimah akan menimbulkan dampak yang buruk.
Para ulama membuat kaidah dalam menghadapi kasus-kasus yang termasuk kelompok hudud, yaitu:



Artinya:
“Kesalahan dalam memaafkan bagi seorang imam lebih baik daripada kesalahan dalam menjatuhkan sanksi.”
Oleh karena itu, kalau terjadi keraguan, ketidakyakinan, kekurangan bukti, dan sebagainya, hindarilah penjatuhan hudud tersebut, seperti disebutkan kaidah berikut :


Artinya:
“Hindarilah hukuman had (hudud) kaena ada keraguan (syubhat).”
Adapun jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud menurut, para ulama, ada tujuh macam jarimah, yaitu perzinahan, qadzaf atau (menuduh orang berzina), asyrib atau minum-minuman keras, sariqah atau pencurian, hirabah atau pembegalan, al baghyu atau pemberontakan, dan riddah atau keluar dari agama Islam.
2.      Jarimah Qishash/Diyat
Seperti halnya jarimah hudud, jarimah qishash diyat pun telah ditentukan jenisnya maupun besar hukumannya. Jadi, jarimah ini pun terbatas jumlahnya dan hukumannya pun tidak mengenal batas tertinggi maupun terndah karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.
Satu-satunya perbedaan jarimah qishash/diyat dengan jarimah hudud adalah jarimah qishash/diyat menjadi hak perseorangan atau hak adami yang membuka kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi korban, wali, atau ahli warisnya. Jadi, dalam kasus jarimah qhishash/diyat ini, korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbautan si pembuat jarimah, meniadakan qishash, dan menggantinya dengan diyat atau meniadakan diyat sama sekali.
Hak perseorangan yang dimaksud seperti telah disinggung hanya diberikan kepada korban, dalam hal si korban masih hidup, dan kepada wali atau ahli warisnya kalau korban meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang kepala negara dalam kedudukannya sebagai penguasapun tidak berkuasa memberikan pengampunan bagi pembuat jarimah. Lain halnya kalau si korban tidak mempunyai wali atau ahli waris, maka kepala negara bertindak sebagai wali bagi orang tersebut, seperti disebutkan:



Artinya :
“Penguasa adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”
Jadi, kekuasaan untuk memafkan si pembuat jarimah itu bukan karena kedudukannya sebagai penguasa tertinggi suatu negara, tetapi karena statusnya sebagai wali dari korban yang tidak mempunyai wali atau ahli waris.
Kekuasaan hakim seperti halnya pada jarimah hudud terbatas pada penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang dituduhkan itu dapat dibuktikan. Penjatuhan hukuman qishash pun hanya dijatuhkan hakim selama si korban atau ahli warisnya tidak memaafkan pembuat jarimah. Kalau hukuman qishash itu diamanatkan dan si korban atau ahli waris meminta diyat, hakim harus menjatuhkan diyat. Namun diyat pun bias saja karena berbagai pertimbangan dihapuskan oleh korban atau ahli warisnya. Sebagai pengganti penghapusan semua hukuman, hakim menjatuhkan ta’zir yang tujuannya di samping sebagai ta’dib (memberi pengajaran) juga sebagai hukuman pengganti dari dua hukuman terdahulu yang dihapuskan korban atau ahli warisnya dan logikanya hasulah lebih ringan. Namun demikian, karena ta’zir ini hak penguasa, hal itu terserah pada  pihak yang mempunyai hak. Oleh karena itu, bias saja hukuman ta’zir lebih besar daripada hukuman yang dignatikan tentu saja dengan berbagai pertimbangan.
Qishash ditujukan agar pembuat jarimah (tindak pidana) dijatuhi hukuman yang setimpal, sebagai balasan atas perbuatannya itu. Jadi, hukuman bunuh hanya dijatuhkan bagi pembunuh dan pelukaan dijatuhi bagi orang yang melukai. Menurut arti katanya, qishash adalah akibat yang sama yang dikenakan kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain. Menurut kami, qishash ini merupakan hukuman terbaik sebab mencerminkan keadilan dan keseimbangan, sehingga si pembuat mendapat imbalan yang sama dan setimpal dengan perbuatannya. Kalau sebagian kita menganggapnya sebagai hukum yang kejam perlu dilihat lebih jauh apakah si pelaku pembunuhan itu tidak kejam? Apalagi bila dia melakukannya terhadap orang yang  tidak berhak dihilangkan nyawanya.
Untuk menjamin ketrtiban dan keamanan yang berkeaan dengan  nyawa dan anggota badan lainnya, qishash dipandang elbih menjamin daripada jenis hukum lainnya. Seseorang akan berpikir dua kali untuk membunuh, misalnya, kalau akibat yang bakal dia terima prsis seperti apa yang dia lakukan terhadap orang lain.
Perbedaan qishash dengan diyat adalah qishash merupakan  bentuk hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan dengan sengaja. Adapun diyat merupakan hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku jarimah dengan objek yang sama (nyawa dan anggota badan), tetapi dilakukan tanpa sengaja.
Jarimah yang termasuk dalam kelompok jarimah qishash/diyat terdiri atas lima macam. Dua jarimah masuk dalam kelompok jarimah qishsh yaitu, pembunuhan sengaja danpelukaan dan penganiayaan sengaja. Adapun tiga jarimah termasuk dalam kelompok diyat, yaitu pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan semi sengaja, dan pelukaan (penganiayaan) tidak sengaja. Di samping itu, diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
Diya, di samping merupakan sebuah hukuman, juga merupakan wujud ganti rugi bagi korban. Si pelaku jarimah memberikan sejumlah harta kepada si korban atau ahli warisnya, dengan besar kecilnya menurut jenis jarimah yang diperbuat. Diyat dianggap sebagai hukuman, sebab seandainya diyat diharpuskan, hakim harus menggantikan hukuman itu dengan hukuman yang lain, yaitu hukuman ta’zir. Logikanya kalau diyat bukan suatu hukuman, hakim tidak perlu menggantinya dengan hukuman lain bila ternyata diyat dimaafkan oleh korban atau ahli warisnya. Adapun diyat juga dianggap sebagai ganti rugi dan ini mirip sebab diyat diterimakan seluruhnya bagi korban atau keluarganya. Oleh karena itu, diyat ini merupakan perpaduan antara sebuah hukuman dang anti kerugian.
Seperti halnya jarimah hudud, penerpaan jarimah qishash/diyat pun harus hati-hati, sifat asas legalitas jarimah ini juga ketat. Oleh karena itu, apabila ada keraguan, ketidakyakinan terhadap jarimah ini, hukuman qishash harus dihindari, sesuai dengan kaidah:

Artinya :
“Hindari hukuman had (hudud dan qishash) apabila ada keraguan.”
Seperti telah dijelaskan, apabila diliaht dari segi telah ditetapkannya hukuman bagi jarimah dikatakan sebagai hudud. Had atau hudud itu ditentukan. Artinya, telah ditentukan jarimah dan hukumannya. Dalam hal ini, baik jarimah hudud maupun jarimah qishash/diyat sama-sama telah ditentukan jenis jarimah dan jenis hukumannya. Oleh karena itulah, Al Mawardy memasukkan qishash/diyat jarimah yang berkaitan dengan jiwa dan anggota badan) ke dalam kelompok hudud.
Kesalahan-kesalahan hukuman bagi jarimah ini, seperti halnya pada jarimah hudud, dapat berakibat fatal atau sekurang-kurangnya, hilangnya anggota badan orang lain. Sebab, kalau si korban atau ahli waris tidak  bersedia memaafkan si pelaku jarimah, hukuman pun harus dijatuhkan. Jadi, walaupun dalam qishash ini terdapat hak untuk memaafkan, kehati-hatian hakim sebagai penegak hukum tiak serta merta menjadi longgar.
3.      Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut arti katanya adalah at ta’dib artinya member pengajaran. Dalam fiqih jinayah, ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah, yang bentuk atau macam jarimah serta hukuman (sanksi) jarimah ini ditentukan penguasa. Jadi, jarimah ini sangat berbeda degan jarimah hudud dan qishash/diyat yang macam jarimah dan abentuk hukumnya telah ditentukan oleh syara. Tidak ditentukan macam dan hukuman pada jarimah ta’zir sebab jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Seperti kita mafhum, kemaslahatan selalu berubah berkembang dari satu waktu ke lain waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, sesuatu dapat  dianggap kemaslahatan pada suatu masa, bias jadi tidak lagi demikian ada waktu yang lain. Demikian pula halnya, sesuatu itu dapat dianggap sebagai jarimah karena bertentangan dengan  kemaslahatan umum, tetapi di saat lain tidak dianggap sebagai jarimah lagi karena kemaslahatan umum menghendaki demikian. Demikian pula  halnya dengan perbedaan tempat di suatu tempat perbuatan itu dianggap sebagai jarimah, namun di tempat lain justru dianjurkan. Pemberian kekuasaan dalam menentukan bentuk jarimah ini kepada penguasa adalah agar mereka dapat dengan leluasa mengatur pemerintahnnya sesuai dengan situasi dankondisi wilayahnya, serta kemaslahatan daerahnya. Oleh karena itu, jarimah ta’zir ini juga sering disebut dengan jarimah kemaslahatan umum. Mengenai hukuman (sanksi), syara hanya menyebutkan bentuk-bentuk hukuman, dari yang seberat-beratnya sampai yang seringan-ringannya. Tanpa mengharuskan hukuman tertentu untuk jarimah tertentu pula, seperti pada jarimah  hudud dan qishash/diyat. Dalam menangani kasus jarimah ini, hakim diberikan keleluasaan. Dia bebas berijtihad untuk menentukan apa yang hendak dijatuhkan kepada pembuat jarimah, sesuai dengan macam jarimahnya dan keadaan si pembuat jarimah.
Seperti telah disinggung di atas, jarimah ta’zir itu tidak terbilang dan tidak mungkin terbilang. Hal ini karena disamping banyaknya, juga mungkin tejadi fluktuasi, perubahan waktu dan temapt sesuai dengan kemaslahatannya. Namun demikian, syarat menyebutkan sebagian kecil dari jarimah dan berlaku untuk seluruh tempat tanpa pengecualian. Jarimah ta’zir seperti ini berlaku abadi diseluruh tempat dan tidak akan terjadi perubahan terhadapnya, artinya perbuatan-perbuatan seperti itu akan dianggap selaanya sebagai jarimah.
Jarimah ta’zir yang ditentukan syara di antaranya adalah khianat, suap-menyuap, memasuki rumah orang lain tapa izin, makan makanan tertentu, ingkar janji, menipu timbangan, riba, berjudi dan sebagainya. Namun demikian, walaupun bentuk dan hukuman jarimah ta[zir ditentukan syarat, penerapan sanksinya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dia dapat memilih rangkaian hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Hal ini karena pada dasarnya jarimah ini adalah hak penguasa.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jarimah ta’zir itu terbagi dalam dua kategori, ta’zir syara dan ta’zir  penguasa. Dua bentuk jarimah ta’zir tersebut memiliki perbedaannya di samping ada kesamaannya. Ta’zir syarat ditentukan oleh syarat dan bersifat abadi, artinya sejak diturunkan oleh pembuat syari’at dan sampai kapanpun akan dianggap sebagai jarimah. Ini karena jarimah ta’zir syarat sejak awalnya memang telah dianggap sebagai suatu perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena perbuatan itu sendiri dan melakukannya dianggap perbuatan maksiat. Adapun ta’zir penguasa ditentukan oleh penguasa dan bersifat sementara bergantung pada keadaan dan dapat dianggapjarimah kalau memang diperlukan. Demikian pula, dapat dianggap bukan jarimah kalau memang diperlukan. Demikian pula, dapat dianggap bukan jarimah kalau memang menghendaki demikian. Hal ini karena pada dasarnya ta’zir penguasa itu bukan suatu perbuatan yang dilarang mengerjakannya, namun keadaan menyebabkan perbuatan itu dilarang.
Adapun permasaan kedua jarimah tersebut adalah sanksi keduanya ditentukan oleh penguasa. Contohnya, perbuatan riba atau menipu timbangan walaupun Al Qur’an menyebutnya  sebagai sautu kejahatan, hukuman kedua jarimah tersebut tidak disertakan (tidak dijelaskan). Oleh karena itu, ketentuan sanksi perbuatan tersebut diserahkan kepada penguasa dan hakim akan memilihnya dari rangkaian hukuman yang ada. Demikian pula halnya dengan menipu, khianat, berjudi dan lainnya.
Penerapan asas legalitas bagi jarimah ta’zir berbeda dengan penerapannya pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Jarimah hudud dan qishash/diyat, seperti kita ketahui, bersifat ketat, artinya setiap jarimah hanya diberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan syarat. Sebaliknya, jarimah ta’zir bersifat longgar. Oleh karena itu, tidak ada ketentuan bagi tiap-tiap jarimah secara tersendiri, seperti dua jarimah terdahulu. Itulah sebabnya, bias terjadi hukuman jarimah yang sama bentuknya dan dilakukan dua orang akan mempunyai sanksi yang berbeda. Di samping itu, untuk beberapa jarimah  yang mempunyai kesamaan dengan jarimah lain, tidak diperlukan peraturan (asa legalitas) yang khusus. Cukup apabila jarimah-jarimah tersebut mempunyai kesamaan sifat yang telah ditentukan secara umum. Oleh karena itu, kemungkinannya bias saja beberapa jarimah yang berbeda akan mendapat hukuman yang sama. Itulah yang diamksud dengan jarimah ta’zir bersifat elastic atau longgar.
Pemberian kekuasaan kepada hakim dalam menangani jarimah ta’zir, tidak berarti bahwa dia dapat berbuat seenaknya (tahakumiyah). Misalnya, seorang hakim menjatuhkan hukuman, terhadap tindakan itu tidak semestinya. Hal ini karena pada dasarnya, semua jarimah tlah memiliki aturan, sedangkan pemberian kekuasaan bagi hakim adalah memilih hukuman yang sesuai dengan keadaan sehingga akan mencerminkan isi hukuman itu sendiri dan menerapkan keadilan bagi seluruh manusia.


BAB IV
SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM

Pengertian hukum pada dasarnya adalah apa-apa yang difirmankan Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang yang dibebani hukum (mukallaf) dan dituntut pelaksanaannya. Itulah yang dinamai dengan syarat atau jalan yang harus ditempuh. Dengan pengertian itu maka hukum syarat’a adalah hukum yang dijalani atau dipatuhi oleh mereka yang dibebani hukum, yakni orang mukallaf. Jika tidak dilaksanakan, si mukallaf tersebut mempunyai konsekuensi hukum tertentu.
Firman Allah yang menjadi syari’at tersebut adalah semau yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril dalam bentuk wahyu. Kodifikasi firman tersebut disebut A-Qur’an Al Karim atau Al-Kitab. Sebagai imbagnan kata Sunnah Rasulullah, Al Qur’an terkadang disebut juga dengan Sunnah Allah (jalan Allah).
Jumhur Fuqaha sepakat bahwa Al Qur’an adalah sumber hukum yang pertama sekaligus yang utama, sepanjang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang dimaksud. Oleh karena itu, ketentuan Al Qur’an mengikat bagi setiap muslim, bagaimanapun juga macam hukum tersebut.
Al Qur’an sebagai kitab suci Allah dan sebagai sumber yang utama diturunkan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk wahyu, untuk selanjutnya divisualkan dalam bentuk huruf Arab kemudian dikodifikasikan dalam bentuk mashaf. Mushaf tersebut berisi ayat=ayat yang diturunkan di kota Mekkah atau ayat-ayat Makkiyah dan sebagian lagi ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau ayat-ayat Madaniyyah. Al Qur’an terdiri atas 114 surat, dimulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri surat An Nas dan terbagi dalam tiga puluh juz.
Al Qur’an diturunkan secara tawatur, berturut-turut dan tidak secara sekaligus. Al Qur’an dilisankan melalui Rasulullah SAW, dan ditulis para sahabat. Ini memberikan keyakinan kepada kita akan kebenaran isi Al Qur’an. Leh karena itu, nash-nash Al Qur’an dinamai qath’iyyul wurud (pasti kebenarannya). Kata-kata dalam Al Qur’an bila dilihat dari sudut dalalahnya (penunjukannya terhadap hukum) terbagi dalam dua bentuk. Pertama, penunjukannya kepada hukum (dalalah) disebut qath’I atau qath’iyyud dalalah. Artinya kata-kata yang qath’I dalalahnya hanya mempunyai satu pengertian. Kedua, penunjukannya terhadap hukum, disebut dhanny atau dhanniyyud dalalah, artinya penunjukannya terhadap hukum hanya berdasarkan dugaan yang kuat. Dalam ungkapan lain, kata-kata yang dhanny dalalahnya mempunyai dua rti atau lebih. Oleh karena itulah, sering terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara  para ulama. Apabila seorang ulama berpendapat (memegang) salah satu dari satu kata yang dhanny, tidak berarti bahwa itulah arti yang sebenarnya karena pengertian yang mereka pegang itu hanyalah dugaan kuat mereka.
Dalam Al Qur’an tidak pernah terjadi perselisihan huruf atau kata kata apalagi perselisihan kalimat (Arab : jumlah). Ini disebabkan sejak Rasulullah SAW. Al Qur’an telah ditulis oleh para sahabat, disamping mempunyai penghafal penghafal bentuk, letak huruf, kata-kata  atau kalimat dalam Al Qur’an. Penghafal penghafal Al Qur’an itu sampai hari ini dan seterusnya akan meemonitoring bentuk, huruf, dan sebagainya. Oleh karena itu, kekeliruan sedikitpun tentang Al Qur’an sangat akan terdeteksi secara dini dan penghafal penghafal Al Qur’an sangat sensistif terhadap penyimpangan, baik bunyi maupun kesalahan cetak. Apalagi Allah Ta’ala sendiri telah menjamin kelestarian eksistensinya dan bentuknya, dengan firman Nya dalam surat Al Hijr ayat 9:

Artinya:
“Sesungguhnya telah kami turunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami akan tetap memeliharanya.”
Pada pokoknya Al Qur’an mengatur hukum yang berkenaan dengan kepercayaan dan ibadah kepada Allah yang bersifat vertical dan hukum-hukum  yang berkaitan dengan interaksi kemanusiaan, bersifat horizontal. Kandungan yang terakhir ini meliputi masalah-masalah keluarga, kepidanaan, keperdataan, dan sebagainya.
Ketentuan hukum dalam Al Qur’an, terutama yang menyangkut kemasyarakatan seperti kepidanaan memiliki akibat ganda, yaitu di dunia dalam bentuk hukuman pidana dan di akhirat dalam bentuk sisksa. Hal tersebut dapat kita lihat dalam firman Allah SWT.:

Artinya :
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya neraka jahanam yang kekal serta murka dan laknat atasnya dan Allah menyediakan baginya azab yang pedih.”

Dalam surat Al Maidah ayat 33, Allah berfirman:

Artinya:
“……bagi mereka itu kehinaan (hukuman) di dunia ini dan siksa yang sangat pedih di akhirat.”
Jadi, pelaku perbuatan jarimah akan mendapat hukuman di dunia ini sesuai dengan jenis jarimahnya dan juga akan mendapat siksa Allah SWT. Di akhirat nanti. Begitu pun halnya perbuatan yang dilakukan di dunia ini (berbuat jarimah) telah dibalas dengan hukuman di dunia ini, tidaklah serta merta hilangnya hukuman ukhrawi. Itu bergantung pada diterima tidaknya  tobat yang bersangkutan oleh Allah SWT.
Selain ayat di atas, masih ada ayat lain yang menunjukkan bahwa pelaku suatu perbuatan jahat akan mendapat hukuman baik di dunia maupun di akhirat:
Dalam surat Al Baqarah 217 Allah berfirman:

Artinya :
“Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, maka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.”
            Pada Surat Al Baqorah: 257 Allah berfirman:

Artinya :
“Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindungnya adalah setan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran), mereka itu adalah penghuni  neraka, mereka kekal di dalamnya.”
            Kemudian dalam surat An Nisa ayat 10, Allah berfirman:


Artinya:
“Sesungguhnya bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk  ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Apa yang terkandung dalam Al Qur’an kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW, dalam bentuk lisan atau perbuatan. Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan syari’at ini dinamai Sunnah Rasul atau jalan Rasul, yang kadangkala disebut dengan sunnah Rasul  atau jalan Rasul, yang kadangkala disebut dengan sunnah saja. Kata-kata sunnah dalam fiqih Islam selama tidak ada embel-embel lain dimaksudkan sebagai sunnah Rasul tadi. Inilah sumbeer hukum yang kedua. Lengkapnya, sunnah ialah semua yang diriwayatkan dari Rasul Allah SAW. Baik perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan terhadap suatu perbuatan yang dilakukan sahabat (qauliyyah, fi’liyyah, ataupun taqririyyah).
Dengan demikian, sumber hukum yang kedua setelah Al Qur’an adalah As Sunnah. As Sunnah berfungsi sebagai penguat (mu’akkid) hukum yang difirmankan Allah dalam Al Qur’an, serta penjelas pengertian, pembtasan dari keumuman, memeberikan rincian, dan sebagai hukum baru selama tidak termaktub secara eksplisit maupun implicit dalam Al Qur’an.
Urutan ketiga dalam hirarki sumber hukum pidana Islam adalah ijma. Ijma merupakan produk dari kebulatan pendapat ulama Mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW., baik dalam forum pertemuan atau terpisah. Status hukumnya dianggap qath’ie sehingga kaum muslimin wajib untuk menaatinya.
Kewajiban kita mengikuti ijma adalah disebabkan keputusan yang dihasilkan dari produk ijma tersebut tidak dilakukan semena-mena, mempunyai sandaran, dan berpijak kepada sumber-sumber terdahulu. Ijma harus ditegakkan di atas aturan-aturan yang umum serta roh syari’at. Oleh karena itu, meskipun pendapat tersebut keluar dari berbagai negeri dan bangsa yang berbeda, kebulatan pendapat tersebut menunjukkan loyalitas mereka terhadap kebenaran syari’at. Itulah sebabnya, hukum yang berasal dari ijma itu sesuai dengan prinsip-prinsip dan roh syari’at. Satu hal lagi adalah umat Islam sebagai umat Nabi Muhammad SAW., tidak akan berkolaborasi dalam kesalahan. Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW., dalam sebuah hadis :

Artinya :
“Tidak akan bersepakat umatku dalam kesalahan.”
Kalau umat Nabi yang umumnya manusia biasa atau orang kebanyakan saja tidak akan bersepakat dalam membuat kesalahan, apalagi umat-umat pilihan, ulamat-ulama, para mujtahidin. Keputusan mereka bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi demi kepentingan umat. Di samping itu, keputusan mereka  tidak akan keluar dari prinsip-prinsip umum dan roh syari’at dan bukan karena akal semata.
Apabila menghadapi suatu masalah kontemporer, sering akli kita tidak menemukan ketentuan hukumnya dalam al Qur’an, sunnah Rasul ataupun ijma. Cara menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengikuti ketentuan yang telah ada (telah diketahui) hukumnya di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah), kemudian menarik kesimpulan bahwa ketentuan yang telah ada hukumnyatersebut, dapat diberlakukan karena adanya persamaan secara analogis. Cara semacam ini dalam terminology fiqih disebut dengan qiyas. Kebanyakan ulama mengganggapnya sebagai sumber hukum yang keempat.
Kehujahan melalui metode analogis ini menurut jumhur ulama adalah sah. Oleh karena itu, dapat diterima sebagai hujjah syar’iyyah.  Artinya perbuatan-perbuatan yang diqiyaskan itu dapat mempunyai kekuatan hukum asalkan persyaratan kumulatif dari masalah tersebut dipenuhi. Namun demikian, menurut Ahmad Hanafi keberadaan qiyas sebagai sumber hukum masih diperselisihkan, tidak seperti tiga sumber hukum yang sebelumnya, yang keberadaannya telah disepakati para ulama.
Menurut Ahmad Hanafi, Al-Qur’an dan As Sunnah merupakan sumber dan dasar syari’at Islam, sedangkan sumber-sumber yang selainnya (ijma dan qiyas) kurang tepat dikatakan sebagai sumber. Di samping tidak membawa aturan-aturan dasar yang baru yang bersifat umum, keduanya lebih tepat disebut sebagai sebuah metodologi ketimbang sumber hukum. Sekalipun dalam kenyataannya, ijma dan qiyas itu merupakan cara pengambilan hukum dari dua sumber utama dan kedua (Al Qur’an dan As Sunnah).
Pneggunaan keempat sumber hukum tersebut, harus sesuai dengan urutan (berurutan atau tertib). Hal ini karena urutan tersebut menggambarkan tingkat dan martabat sumber hukum tersebut berdasarkan skala prioritas. Artinya urutan terakhir hanya dapat dipertimbangkan manakala tidak dijumpai dalam urutan sebelumnya. Dalam hal ini, Al Qur’an menjelaskan keempat sumber hukum tersebut, berikut gradasi (tingkat) kedudukannya.
Allah SWT. Berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 59:

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Allah dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Apabila kamu berselisih paham dalam suatu hal, kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan kepada Rasul Allah (As Sunnah) jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Hal ini dijelaskan pula oleh sebuah hadis, yang menceritakan Tanya jawab antara Nabi Muhammad SAW. Dengan Muadz bin Jabal ketika Muadz dilantik Nabi menjadi gubernur Yaman:


Artinya :
“Bagaimana kamu memutuskan suatu perkara? “Kuhukumi dengna kitab Allah, “Jawabnya. Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah? “Dengan Sunnah Rasulullah, “jawab Muazd. Jika engkau tidak temukan dalam Sunnah Rasul? Muazd menjawab, “ Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya.” Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji sambil berkata, “Al Hamdulillah, Allah telah member taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridai Allah dan Rasul Nya.” (H.R. Ahmad, Abdu Dawud, dan Turmudzi).
Dalil Al Qur’an hadist tentang Muaddz bin  Jabal di atas, memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara penggunaan dalil (beristidhlal) dalam berhujah, yaitu secara tertib berdasarkan urutan dan tertib ayat. Pertama-tama kita harus menggunakan dalil Al Qur’an selama di dalamnya terdapat ketentuan mengenai hal yang diamksud, baik secara eksplisit (termaktub dengan jelas) maupun secara implicit (tersirat). Kalau masalah tersebut tidak ditemukan dalam Al Qur’an, langkah selanjutnya adalah mencdarinya dalam Sunnah Rasul, yaitu Al Hadist. Kalimat yang menyebutkan taatilah Allah dan taatilah Rasul adalah petunjuk bagi kita untuk mengikuti Al Qur’an dan mengikuti As Sunnah. Kalau dalam  kedua sumber tersebut tidak didapati, kita harus mengikuti pendapat orang-orang yang mempunyai kekuasaan (ulul amri). Lafaz ulil amri artinya pemegang segala urusan dan itu bersifat umum. Oleh karena itu, ulul amri terdiri atas orang-orang yang mengurus masalah duniawi, seperti presiden, raja, dengan para pembantunya serta lembaga-lembaga kenegaraan lainnya. Mereka juga terdiri atas orang-orang yang mengurus masalah keagamaan seperti ulama, mujtahid, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kalau semua komponen dari ulil amri telah sepakat untuk menetapkan suatu ketentuan hukum atas suatu perkara, seluruh rakyat wajib menaatinya, seperti halnya menaati perintah Allah dan Rasulullah.
Kalau dalam ketiga sumber tersebut tidak didapati, kita berupaya secara sungguh-sungguh untuk mengqiyas kan (menganalogikan) perkara yang belum ada ketentuan hukum tadi dengan peristiwa serupa yang telah mempunyai ketentuan hukum yang jelas. Namun demikian, tidak semua perkara  kontemporer dapat dianalogtikan (diqiyaskan) sebab penetapan status hukum suatu perkara dengan metode analogis hanya dapat dilakukan apabila persyaratan-persyaratan untuk terpenuhi.
Di samping keempat sumber tadi, masih ada sumber hukum atau metode penetapan hukum yang lain. Namun keberadaan sumber-sumber selain yang empat itu masih diperselisihkan keberadaannya. Oleh karena itu, status penerapannya diperselisihkan, mengikat atau tidaknya. Di antaranya adalah istishab, istihsan, maslahah, mursalah, syari’at sebelum kita, adat istiadat, dan mazhab sahabat.



BAB V
ASAS LEGALITAS

Apabila menghadapi suatu persoalan hukum yang tidak terdapat aturannya, kita harus menetapkannya sebagai kebolehan. Artinya, semua perbuatan atau tidak berbuat atau yang berkaitan dengan suatu barang dianggap sebagai suatu kebolehan yang asli bukan suatu kebolehan yang berasal dari syari’at. Mengerjakan atau meninggalkan perbuatan seperti itu tidak mempunyai konsekuensi hukum tertentu, tanpa membedakan  siapa pelakunya, anak-anak atau dewasa, sehat pikirannya atau terganggu. Semua manusia selama tidak ada ketentuan diberi kebebasan melakukan perbuatan tersebut atau meninggalkan perbuatan tersebut. Oleh Karena itu , dalam menghadapi masalah yantg tidak ada hukum haram, kita harus mengembalikannya pada kebolehan, sebagai suatu kemurahan dari Yang Mahakuasa untuk menghilangkan kesulitan bagi manusia.
Ketentuan di atas dimungkinkan karena adanya aturan pokok (kaidah ushul) yang menunjukkan ahl tersebut:

Artinya:
“Pada dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil (petunjuk) yang menunjukkan keharamannya.”
Maksudnya, selama tidak ada ketentuan yang berkenaan dengan masalah tersebut, status hukum masalah tersebut adalah boleh (ibahah, jaiz, atau halal). Dalil tersebut berlaku umum bagi segala sesuatu yang tidak mempunyai ketentuan khusus.
Kebolehan tadi tertuju bagi semua orang, sehat akalnya atau sakit ingatan, telah masuk taklif atau tidak, atau belum masuk taklif. Oleh karena itu, apabila dia mengerjakan atau tidak mengerjakan (meninggalkan) perbuatan tersebut, dia tidak dikenai hukuman samapi hadirnya ketentuan yang menyatakan perbuatan tersebut harus dikerjakan atau harus ditinggalkan. Aturan pokok yang berkaitan dengan hal tersebut adalah:

Artinya:
“Tidak ada hukuman bagi perbuatan manusia yang berakal sebelum turunnya (sebelum adanya) nash (aturan).”
Jadi, semua perbuatan tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau jarimah sebelum nyata-nyata ada aturan (nash atau lainnya) yang berkatian dengan masalah tersebut. Hal ini karena hukuman atau sanksi hukum harus berkaitan dengan aturan atau nash.
Di samping itu, suatu perbuatan  dianggap sebagai suatu jarimah (delik atau tindak pidana) tidaklah cukup hanya  sekadar dilarang peraturan saja. Akan tetapi, bersamaan denganperaturan tersebut disertakan pula, konsekuensi apa yang akan diperoleh kalau seandainya erbuatan itu dikerjakan atau ditinggalkan. Sebab tanpa akibat hukum yang jelas, tanpa sanksi yang jelas yang menyertai peraturan tersebut, pelanggaran terhadap aturan tidak mempunyai arti apapun bagi pelaku. Itu berarti pelakunya tidak dianggap telah berbuat jarimah dan dia tidak dapat dihukum.
Aturan-aturan untuk mengerjakan atau meninggalkan perbuatan tersebut, jauh-jauh sudah diketahui khalayak. Oleh karena itu, harus disebarluaskan, disosialisasikan sehingga khalayak mengetahui adanya peraturan yang mengatakan keharusan untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Tanpa disosialisasikannya peraturan tersebut, mana mungkin khalayak mengetahui aturan dimaksud sehingga hal tersebut rentan terhadap pelanggaran.
Dalam hal ini, Allah sebagai pembuat syari’at (syari’) tidak mengazab suatu bansa, sebelum Allah memberikan pemberitahuan, penjelasan terlebih dahulu peraturan tersebut melalui utusan-utusan Nya. Hal tersebut dapat kita lihat dalam surat Al Isra, ayat 15 dan surat Al Qashas ayat 59:

Artinya :
“Tidaklah kami mengazab suatu kaum, kecuali kami telah kirim (rasul) sebelumnya.”


Artinya:
“Dan tidaklah Tuhanmu menghancurkan kediamanmu, kecuali Tuhan telah mengutus rasul Nya yang membawa ayat-ayat Tuhan. Dan tidaklah Tuhan menghancurkan kediamanmu, kecuali penduduknya berbuat zalim.” (Q.S. Al Qashash : 59)
Peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pembuat syari’at tadi, merupakan dasar hukum bagi setiap perbuatan (mengerjakan atau meninggalkan) yang terjadi setelah kehadiran peraturan tersebut. Inilah yang  oleh hukum positif disebut dengan asas legalitas, landasan untuk berpijak dalam mengatasi setiap pelanggaran hukum. Tanpa asas legalitas, setiap perbuatan bebas dari segala macam hukuman.
Asas legalitas telah diterangkan dalam Al Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Itu berarti asas ini dianggap sudah diketahui khalayak, sebab tealh disebarluaskan. Asas ini telah ada jauh sebelum hukum positif yang dipelopori Prancis ketika Negara ini memperkenalkan hal yang sama kepada khalayak ramai melalui dunia perundang-undangan. Oleh karena itu, tidak ada alas an manusia tidak mengetahui hukum menghindar dari ancaman hukuman.
Mengetahui hukum tidaklah diartikan sebagai hafal secara detil tentang pasal-pasal hukum, namun atas dasar bahwa yang bersangkutan mengetahui peraturan tersebut. Oleh karena itu, orang dewasa yang sempurna akalnya dianggap telah mengetahui hukum. Atas dasar ini tidak dapat diterima alas an seorang untuk menghindar dari hukum karena alas an belum mengetahui hukum tersebut. Dalam mengantisipasi hal semacam ini, para ulama membuat suatu aturan:

Artinya:
“Tidak diterima di negeri Islam halangan kebodohan (tidak atau belum mengetahui) hukum-hukum syari’at sebagai alas an (untuk menghindar dari hukum).



BAB VI
UNSUR-UNSUR JARIMAH

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pengertian jarimah terpulang pada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan pelakunya dapat diancam dengan hukuman. Larangan tersebut adakalanya larangan untuk berbuat dan adakalanya larangan untuk tidak berbuat. Yang dimaksud dengan larangan berbuat adalah larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang jelas-jelas dilarang oleh syara, seperti berzina, mencuri, dan sebagainya. Adapun larangan tidak berbuat adalah seseorang tidak melaksanakan sesuatu yang menurut ketentuan harus dia lakukan atau dengan ungkapan lain, dia meninggalkan suatu perbuatan yang menurut ketentuan harus dilakukan, misalnya seseorang yang tidak mau menolong orang lain yang sangat memerlukan pertolongan, padahal dia sanggup melakukannya.
Ketentuan untuk tidak melakukan atau untuk meninggalkan perbuatan yang termasuk dalam kategori jarimah harus mempunyai sandaran yang jelas dan berasal dari ketentuan-ketentuan nash syara. Oleh karena itu, berbuat atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah apabila terhadap perilaku tersebut tersedia ancaman hukuman.
Begitu pula, nash Al Qur’an, Sunnah Nabi, atau peraturan-peraturan lainnya, harus hadir lebih awal dibandingkan dengan perintah berbuat atau tidak berbuat tadi. Tidak boleh sebaliknya. Artinya perbuatan atau tidak berbuat hadir lebih dahulu, sedangkan ketentuan yang berkaitan dengan itu dibuat kemudian.
Setiap peraturan (perintah atau larangan) sebelum diberlakukan, terlebih dahulu harus disebarluaskan agar diketahui oleh umum atau disosialisasikan terlebih dahulu. Seperti halnya undang-undang atau peraturan pemerintah, walaupun dibuat tidak secara langsung diterapkan atau diberlakukan, tetapi disosialisasikan lebih dahulu sampai jangka waktu tertentu, misalnya UU No. 1/1974 diberlakukan mulai 1 April 1975-Undang-undang Lalu Lintas 1992, diberlakukan 17 September 1993. Setelah peraturan itu hadir dan berlaku, perbuatan yang dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah dapat dinilai sebagai perbuatan yang melawan hukum atau tidak.
Larangan-larangan tersebut berasal dari ketentuan syara’ sehingga hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat karena memahami maksud ketentuan tersebut dan sanggup menerimanya. Hal ini karena pada hakekatnya, perintah atau larangan merupakan suatu beban sehingga si penerima beban harus memahami dan menyanggupinya. Paham artinya mengerti isi kewajiban (perintah atau larangan), sedangkan sanggup artinya dapat mengerjakan atau meninggalkan perbuatan tersebut. Orang yang tidak mengerti isi perintah (tidak paham) dan orang-orang yang tidak kuasa memikul beban karena suatu sebab, tidak mungkin menerima beban tadi, misalnya orang-orang yang hilang ingatan dan anak-anak yang tidak terpanggil oleh larangan-larangan syara’.
Orang yang dapat memahami dan sanggup menerima beban menurut ilmu fiqih dinamai mukallaf, (orang yang dibebani). Oleh karena itu, mereka berkena khitbah (panggilan) untuk menerimanya.
Sebagai contoh, seseorang yang mengambil barng yang diduga bukan miliknya telah menyebabkan hilangnya milik seseorang dan menyebabkan kerugian. Namun kita belum dapat menyebutnya sebagai jarimah pencurian sebelum mencari undang-undang, peraturan, dan sebagainya tentang kasus tersebut. Bila ditemui adanya aturan pelarangan untuk memindahkan, memiliki barang orang lain tanpa prosedur yang sah (membeli atau meminjam atau mendapat bagian) dan ketentuan tersebut telah lama ada sebelum perbuatan pemindahan barang tersebut dilakukan, dan oran gyang melakukannya dianggap telah mengetahui peraturan tersebut, kita belum dapat menghukumi si pelaku bahwa dia telah melakukan suatu jarimah dan dapat dihukum. Kita tidak dapat hanya mengandalkan adanya kehadiran asas legalitas saja dan belum cukup untuk menilai perbuatan itu sebagai suatu jarimah.
Langkah selanjutnya adalah meneliti kualitas pelaku perbuatan apakah pelakunya mukallaf atau bukan. Apabila perbuatan tersebut di lakukan oleh orang yang dianggap mukallaf, pelaku tersebut dapat dikenai hukuman. Akan tetapi, kalau dilakukan oleh orang yang telah berubah akalnya (karenanya tidak memahami beban) atau dialkukan oleh anak-anak, hukuman tersebut tidak dapat diberlakukan walaupun perbuatan tersebut jelas dilarang oleh asas legalitas, melawan hukum, dilarang syara, dan merugikan orang lain. Alasannya adalah orang-orang tersebut dianggap tidak memahami isi beban (perintah atau larangan) dan tidak atau belum sanggup memikul beban.
Dalam hal ini Abdul kair Audah berkata, “Bahwasanya syari’at tidak membebani, kecuali terhadap orang-orang yang mampu memahami dalil (paham isi perintah dan dianggap mengetahui aturan) serta dapat menerima atau memikul beban, tidka pula syari’at membebani seseorang, kecuali bila diasumsikan beban itu dapat dipikulnya dan orang tersebut dianggap mengetahui dan dapat menaatinya.”
Hal senada dikemukakan Al Qhazali bahwa perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan oleh orang-orang yang berakal yang dianggap memahami khithab dari nash, aturan dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak selayaknya menghadapkan khithab kepada benda mati atau binatang bahkan tidak sah menrapkannya kepada orang gila dan anak-anak.
Tentang sejauh mana seorang mukallaf mengetahui hukum atau aturan, Abdul Wahab Khallaf memberikan penjelasan, “Yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf terhadap hukum, tidak diartikan sebagai hafal aturan teksbook, hafal ayat, nash Al Qur’an atau Hadits, pasal-pasal dalam KUHP Pidana, dan lain-lain. Akan tetapi , cukup berdasarkan asumsi bahwa yang bersangkutan dianggap mengetahui karena dia termasuk seorang yang mukallaf. Oleh karena itu, alas an seorang mukallaf tidak mengetahui hukum tatkala dia didakwa melakukan kesalahan atau pelanggaran, tidak dapat diterima. Anggapan yang sama juga berlaku dalam hukum positif bahwa semua orang yang dianggap mengetahui hukum.
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa untuk dianggap atu dikategorikan suatu jarimah, suatu perbuatan harus smemiliki beberapa persyaratan atau beberapa unsur, Unsur-unsur tersbut adalah berikut ini.
1.      Unsur Formal atau Rukun Syar’i
Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar’I adalah adanya ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan ayng oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dpaat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Dketentuan tersebut harus dating (sudah ada) sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut dating setelah perbuatan trjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Dalam hal ini berlakukah kaidah-kaidah berikut :

Artinya :
“Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.”


Artinya:
“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan).”

Artinya:
“Tidak ada hukuman bagi orang-orang yang berakal sebelum turunya ayat.”
Ketentuan-ketentuan yang mendasari suatu tindakan yang telah dibuat terlebih dahulu seperti yang telah dijelaskan dalam hukum posistif yang dikenal dengan asas legalitas dalam KUHP Pidana pasal 1 ayat (1) dijelaskan sebagai berikut :
“Sesuatu perbuatan tidak boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan hukum dalam undang-undang yang diadakan lebih dahulu dari perbuatan itu.”
2.      Unsur Material atau Rukun Maddi
Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Kalau kita kembalikan kepada kasus di atas bahwa pencurian adalah tindakan pelaku memindahkan atau mengambil barang milik orang lain, tindakan pelaku tersebut adalah unsur material yaitu, perilaku yang membentuk jarimah. Dalam hukum positif, perilaku tersebut disebut sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.
3.      Unsur Moril atau Rukun Adaby
Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al jiniyyah atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, pembuat jarimah (tindak pidana,k delik) haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki criteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khithab (panggilan) pembebanan (taklif).
Unsur-unsur yang telah kami sebutkan tadi adalah unsur-unsur yang bersifat umum. Artinya unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana atau delik). Jadi, pada jarimah apapun ketiga unsur itu harus terpenuhi. Di samping itu, terdapat unsur kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jarimah yang lain. Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak akan ditemukan pada jarimah yang lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda oaring lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pemunuhan.



BAB VII
TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH

A.     Pengertian
Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan dan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Bahasan kita selanjutnya adalah perbuatan jarimah yang dilakukan oleh beberapa orang.
Turut serta melakukan jarimah ialah melakukan jariah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, member bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari definisi tersebut, dapat diketahui, sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki bersama, secara ketetulan, sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau member fasilitas bagi terselenggaranya suatu jarimah.
Adhmad Hanafi membagi kerja sama dalam berbuat jarimah dalam empat kemungkianan:
1.      Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-sama.
2.      Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
3.      Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah.
4.      Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut serta melakukannya.
B.      Turut Berbuat Langsung
Turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah dinamai isytirak mubasyir, sedangkan pelakunya dinamai syarik mubasyir. Turut berbuat langsung dalam pelaksanaanya terbagi dalam dua bentuk berikut.
Pertama, turut berbuat langsung secara tawafuq, artinya si peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Ia melakukannya tanpa kesepakatan dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain melainkan atas kehendak pribadinya atua refleksi atas suatu kejadian di hadapannya. Jadi, setiap pelaku dalam jarimah yang turut serta dalam bentuk tawafuq ini tidak saling mengenal antara satu dan lainnya. Dalam melakukan perbuatan tersebut, mereka tidak melakukan kesepakatan untuk merencanakan secara kolektif. Tiap-tiap pelaku jarimah secara psikologis terbawa oleh peristiwa yang sedang berlangsung dihadapannya. Umpamanya, ketika terjadi demonstrasi atau tawuran pelajar, sering dimanfaatkan oleh orang lain yang melihatnya. Di antaranya, ada yang mengambil kesempatan untuk berbuat sesuatu, mencuri, merusak atau memperkosa wanita-wanita yang ketakutan.
Kedua, turut berbuat langsung secara tamalu. Dalam hal ini, para peserta sama-sama menginginkan terjadinya suatu jarimah dan bersepakat untuk melaksanakannya. Namun, dalam pelaksanaan jarimah, masing-masing  peserta melakukan fungsinya sendiri-sendiri, seperti dalam kasus pembunuhan, beberapa orang yang bersepakat membunuh seseorang tidak membunuh (menusuk dengan pisau) secara  bersamaan. Di antara mereka ada yang memegang, memukul, atau mengikat. Namun dalam hal pertanggungjawaban, mereka semua bertanggungjawab atas kematian korban.
Dalam hal pertanggungjawaban pada jarimah turut serta secara tawafuq (kebetulan), keb anyakan ulaam mengatakan bahwa setiap pelaku bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya, tanpa dibebani hasil perbuatan yang dilakukan oleh yang lainnya. Akan tetapi, dalam turut serta secara tamale (disepakati, direncanakan), semua pelaku jarimah bertanggungjawab atas hasil yang terjadi. Dalam kasus pembunuhan misalnya, seluruh pelaku jarimah tadi bertanggungjawab atas kematian si korban. Namun, menurut Abu hanifah, hukuman bagi tawafuq dan tamale adalah sama saja. Mereka dianggap sama-sama melakukan perbuatan tersebut dan bertanggungjawab atas semuanya.
Menurut riwayat Daruquthni seperti dikutip Asy Syaukani ketentuan turut serta berbuat langsung adalah hadis dari Abu Hurairah berikut :

Artinya :
“Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW. “Apabila seorang laki-laki memegangi (korban), sedangkan laki-laki lain membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang membunuhnya dan dikurung bagi orang yang memeganginya.”
Dalil  tersebut menurut Asy Syaukani menunjukkan bahwa qishash hanya dikenakan bagi orang yang membunuhnya saja, sedangkan bagi orang yang memegang, hukumannya adalah dikurung. Kahalany  juga berpendapat demikian tanpa menyebutkan kadar waktunya.
An Nisa’I, Imam Malik, dan Abi Laila berpendapat bahwa terhadap orang yang memegangi korban dalam kasus pembunuhan, juga dikenai hukum qishash, sebab dia dianggap sebagai mubasyir (pelaku) pembunuhan juga. Menurut mereka, pembunuhan tersebut tidak mungkin terjadi secara sempurna, tanpa keterlibatan orang yang meemgangi korban.
C.      Turut Serta Tidak Langsung
Yang disebut dengan turut serta tidak langsung, menurut Ahmad Hanafi adalah sebagai berikut : setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan dalam kesepakatan dan menyuruh serta member bantuan.
Mengenai hukuman perserta berbuat tidak langsung, menurut hukum Islam adalah hukuman ta’zir, sebab jarimah turut berbuat tidak langsung  tidak ditentukan oleh syara, baik bentuk maupun macam hukumnya. Jarimah yang ditentukan syarat seperti telah kita ketahui hanya jarimah hudud dan qishash/diyat saja. Kedua bentuk jarimah tersebut (hudud dan qishash/diyat) hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat secara langsung, bukan untuk kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung). Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesyubhatan (kesamaan) dalam perbuatan jarimah, sedangkan syubhat dalam hudud (jarimah hudud dan qishash/diyat) menurut kaidah, harus dihindari. Oleh karena itu, sanksi pelaku jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman ta’zir, bukan hudud atau qishash.
Perbedaan yang disebutkan di atas hanya berlaku bagi jarimah hudud dan qishash/diyat saja dan tidak berlaku bagi jarimah ta’zir. Dalam jarimah ta’zir, tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat tidak langsung. Kedua pelaku langsung atau tidak langsung sama-sama dianggap telah melakukan jarimah ta’zir dan hukumannya tentu saja hukuman ta’zir pula. Di samping itu, pemberi kekuasaan terhadap hakim, dalam hal menjatuhkan hukuman bagi ealku jarimah ta’zir, menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan.
Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, pembuat tidak langsung bias saja dianggap sebagai pembuat asli. Dalam praktek misalnya, pembuat langsung hanya merupakan alat atau kepanjangan tangan dari pembuat sebenarnya, yaitu pembuat tidak langsung. Dalam kehidupan keseharian sering kita sebut dengan istilah otak dari peristiwa atau actor intelektual. Menurut Imam Malik, pembuat dikenai hukuman qishash (dalam hal pembunuhan) atau dikenai hukuman lebih berat atau mungkin sama beratnya dalam jarimah yang termasuk kelompok ta’zir.



BAB VIII
HUKUMAN

A.     Pengertian

Menurut kamus bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito, hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam bahasa Arab hukuman disebut dengan iqab (singular) dan uqubah (plural), yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama seperti S. Wojowasito dalam kamusnya di atas.
Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai berikut:

Artinya :
“Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.”
Dari definisi tersebut, dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan ang setimpal atas perbuatan pelaku kejaahtan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan lian, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran (makiat) perintah syara.
B.      Dasar Hukum
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat  dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik berdasarkan Al Qur’an, Hadis Nabi, maupun berbagai ketentuan dari ulil amri atau lembaga legislative yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-kasus ta’zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya menyelamatkan umat manusia dari ancaman kejahatan.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:
Surat Shad ayat 26:

Artinya :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah di muka bumi ini, maka berikanlah keputusan (hukuman) diantara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan siksa yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan”
Surat An Nisa ayat 135:

Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kam orangyang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dari kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Janganlah kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kami kerjakan.”
Surat An Nisa ayat 58:

Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada mereka yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara mansuia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Sabda Rasulullah SAW


Artinya :
“Dari Abu Hurairah dari ayahnya dari  Rasulullah SAW, mengabarkan bahwa Rasulullah bersabda, “Qadhi-qadhi (hakim-hakim) itu ada dua golongan, satu golongan di surge dan satu golongan di neraka. Adapun qadhi yang ada di surge ialah qadhi yang mengetahui kebenaran lalu dia memberikan keputusan berdasarkan kebenaran. Adapun qadhi yang mengetahui kebenaran lalu dia curang dalam mengambil keputusan dia ditempatkan di neraka. Dan seorang qadhi yang member keputusan berdasarkan kebodohan, dia juga ditempatkan di neraka.” (HR. Abu Dawud)

C.      Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar radu waz zahru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-ishlah wat tahdzib). Dengan tujuan tersbut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu, juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
Seperti telah dijelaskan pada bagian lain bahwa perbuatan tindak pidan atau jarimah itu, mengandung dua pengertian. Pengertian pertama, adalah si pelaku melakukan pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang dilarang, maka pencegahan pada bentuk seperti ini adalah mencegahnya untuk melakukan perbuatan yang dilarang  tersebut. Pegnertian kedua, si pelaku tidak mengerjakan perbuatan yang diperintahkan atau si pelaku meninggalkan suatu kewajiban. Pemberian hukuman pada jenis ini ditujukan agar si pelaku menghentikan ketakacuhannya terhadap kewajiban. Dengan adanya sanksi yang dijatuhkan, si pelaku di tergerak untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Di samping itu, jarimah juga bertujuan untuk mengusahakan kebaikan serta pengajaran bagi pealku jarimah. Dengan tujuan ini, pelaku jarimah diarahkan dan dididik untuk melakukan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan jahat. Pada awalnya si pelaku jarimah merasakannya sebagai  pemaksaan terhadap dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak disenanginya, namun pada tahap berikutnya timbul kesadaran bahwa perbuatan tersebut memang harus dia kerjakan atau harus dia tinggalkan bukan karena ancaman hukumn. Pada tahap ini, pelaku suatu tindak pidana sebagai sesuatu yang tidak dia sukai, sesuatu yang menurut agamanya terlarang. Penghentiannya terhadap suatu perbuatan pidana tidak hanya karena ketakutan terhadap sanksi duniawi, namun kesadaran dirinya bahwa kelak dia aakn mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Yang Maha Kuasa, meskipun di dunia ini dia sempat lolos dari jangkauan kekauasaan.
Dalam aplikasinya, hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut :
Pertama, untuk memelihara masyarakat. Dalam kaitan ini pentingnya hukuman bagi pelaku jarimah sebagai upaya menyelamatkan masyarakat  dari perbuatannya. Pelaku sendiri sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan masyarakat yang banyak, maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan. Kalau tidak demikian, kepentingan yang lebih banyak, yaitu masyarakat, akan terancam oleh perbuatan perseorangan tersebut. Kejahatan itu sendiri merupakan penyakit yang ada pada anggota masyarakat, maka untuk mengobati penyakit itu dan menjauhkannya dari masyarakat. Dengan demikian, hukuman itu pada hakikatnya adalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku kejahatan agar masyarakat terhindar dari penyebarannya. Walaupun pada kenyataannya hukuman itu merupakan penderitaan bagi yang berbuat kejahatan, ketiadaan hukuman bagi pelaku kejahatan menyebabkan penderitaan tersebut berpindah pada orang yang lebih banyak. Dalam ketentuan umum (kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus didahulukan daripada kepentingan perseorangan:

Artinya :
“Kemaslahatan umum didahulukan dari kemaslahatan khusus.”
Oleh karena itulah, hukum mengorbankan kesenangan perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak. Dalam hukum positif  disebut dengan prevensi umum, yaitu pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai (kepada semua orang), agar tidak melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum. Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut. Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan di hadapan umum agar berdampak sugestif bagi orang lain.
Kedua, sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusu bagi pelaku. Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Dengan balasan tersebut, pemberi hukuman berharap terjadinya dua hal. Pertama, pelaku diharapkan menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di masa dating. Kedua, orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga kan dikenakan kepada pniru. Jadi, pada hakikatnya harapan yang kedua ini adalah upaya memblokade kejahtan sehingga kejahatan tersebut cukup hanya dilakukan oleh seorang saja dan tidak diikuti oleh yang lainnya. Kalau si pelaku tidak mengulangi perbuatannya atau tidak melakukan perbuatan jahat lainnya dan orang lain tidak meniru perbuatan pelaku karena akibat negative yang akan diterimanya, terciptalah ketenteraman dan kemaslahatan umum.
Ketiga, sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya mendidiknya agar menjadi orang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Dia diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukannya telah menggangu hak orang lain, baik materil ataupun moril dan merupakan perkosaan atas hak orang lain. Di samping itu, mengingatkan pelaku tentang kewajiban yang seharusnya dia kerjakan (dalam hal pelaku brbuat jarimah pasif, tidak melakukan kewajiban).
Dari segi ini, pemberian hukuman tersebut adalah sebagai upaya mendidik pelaku jarimah mengetahui akan kewajiban dan hak orang lain. Seperti halnya upaya sebelumnya, uapay pendidikan dan pengajaran ini juga berlaku bagi orang lain, yaitu mengajarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya.
Keempat, hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku jarimah akan mendapat balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Menurut kami, itulah yang didefiniskan Abul Qadir Audah pada awal pembicaraan kita. Menjadi suatu kepantasan setiap perbuatan dibalas dengan perbuatan lain yang sepadan, baik dibalas dengan perbuatan baik dan jahat dibalas dengan kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil. Al Qur’an memberikan keterangan:


Artinya :
“Barang siapa berbuat kebaikan walaupun sebiji sawi akan dibalas dengan kebaikan pula. Dan barang siapa yang membuat kejahtan walauopun sebiji sawi akan mendapatkan balasan berupa kejahatan pula.” (Q.S. Al Zalzalah : 7-8)


Artinya:
“Balasan kejahtan itu adalah kejahatan yang semisalnya….” (Q.S. Asy Syura : 40)
Kalau tujuan-tujuan penjatuhan hukuman di ats tidak dapat tercapai, upaya terakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan penjahat. Artinya pelaku kejahatan tertentu yang sudah sangat sulit diperbaiki, dia hrus disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum Islam juga berpendirian sama, yaitu kalau dengan cara ta’dib (pendidikan) tidak menerakan si pelaku jarimah dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat, hukuman ta’zir bias diberikan dalam bentuk hukuman mati atau penjara tidak terbatas.
Dari aplikasi tujuan-tujuan hukum, tujuan akhirnya atau tujuan pokoknya adalah menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi  perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang lain sehingga apa yan diperbuatnya di kemudian hari berdasrkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum.
D.     Macam-macam Hukuman
Mengenai macam-macam hukuman ini, Prof. H. A. Djazuli membaginya sebagai berikut :
Pertama, ditinjau dari segi terdapat dan tidak terdapatnya nash dalam Al Qur’an atau Al Hadis, hukuman dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang menzihar istrinya (menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2.      Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan  jarimah, jarimah-jarimah hudud dan qishsh/diyat yang tidak selesai, dan jarimah-jarimah ta’zir itu sendiri.
Kedua, ditinjau dari sudut kaitan antara hukuman yang satu dengan hukuman lainnya, terbagi menjadi empat:
1.      Hukuman Pokok (al uqubat al ashliyyah), yaitu hukuman utama bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh yang membunuh dengan sengaja, hukuman diyat bagi pelaku  pembunuhan tidak sengaja, dera (jilid) seratus kali bagi pezina ghair muhsan,
2.      Hukuman pengganti (al uqubat al badaliyyah), hukuman yang menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli) yang karena suatu sebab tidak dapat dilaksanakan, seperti hukuman ta’zir dijatuhkan bagi pelaku karena jarimah had yang didakwakan mengandung unsur kesamaran atau syubhat atau hukuman diyat dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga korban. Dalam hal ini hukuman ta’zir merupakan pengganti dari hukuman pokok yang tidak bias dijatuhkan, kemudian hukuman diyat sebagai pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
3.      Hukuman tambahan (al uqubat al taba’iyyah), yaitu hukuman yang dikenakan mengiringi hukuman pokok. Seseorang pembunuh pewaris, tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4.      Hukuman pelengkap (al uqubat al takhmiliyyah), yaitu hukuman untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan, namun harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Hukum pelengkap ini menjadi pemisah ari yang hukuman tambahan tidak memerlukan keputusan tersendiri seperti, pemecatan suatu jabatan bagi pegawai karena melakukan tindak kejahatan tertentu atau mengalungkan tangan yang telah dipotong di leher pencuri.
Ketiga, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan bert ringannya hukuman, hukuman terbagi atas dua macam:
1.      Hukuman yang mempunyai batas tertentu, artinya hukuman yang telahditentukan besar kecilnya. Dalam hal ini hakim tidak dapat menambah atau mengurangi hukuman tersebut atau menggantinya dengan hukuman alin. Ia hanya bertugas menerapkan hukuman yang telah ditentukan tadi seperti, hukuman yang termasuk ke dalam kelompok jarimah hudud dan qishash/diyat.
2.      Hukuman yang merupakan alternative karena mempunyai batas tertinggi dan terendah. Hakim dapat memilih jenis hukuman yang dianggap mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Kebebasan hakim ini, hanya ada pada hukuman-hukuman yang termasuk kelompok ta’zir. Umpamanya hakim dapat memilih apakah si terhukum akan dipenjarakan atau didera (jilid), mengenai penjara pun hakim dapat memilih, berapa lama dia dipenjarakan.
Keempat, ditinjau dari segi objek yang dilakukannya hukuman, terbagi dalam :
1.      Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan terhadap anggota badan manusia seperti hukuman potong tangand an dera.
2.      Hukuman yang dikenakan terhadap jiwa, seperti hukuman mati, Ahmad Hanafi memasukkan hukuman mati dalam hukuman badan, sedangkan H. A. Djazuli memasukkannya ke dalam hukuman terhadap jiwa, bukan badan atau nyawanya, tetapi hukuman yang bersifat psikologis, seperti ancaman, peringatan, atau teguran.
3.      Hukuman yang dikenakan terhadap hilangnya kebebasan manusia atau hilangnya kemerdekaan, seperti pengasingan atau penjara. Ahmad Hanafi memasukkan hukuman penjara dalam hukuman dengan objek badan, sedangkan H. A. Djazuli, memasukkannya dalam bagian tersendiri.
4.      Hukuman terhadap harta benda si pelaku jarimah, seperti perampasan (penyitaan), diyat, dan denda.