BAB I
PENGERTIAN JINAYAH DAN JARIMAH
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau
kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara
fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah maupun kejahatan
terhadap harta benda dan lainnya, dibahas dalam jinayah. Dalam kitab-kitab
klasik, pembahsan masalah jinayat ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa
yang berkaitan dengan sasaran (objek) badan dan jiwa saja. Adapun perbuatan
dosa selain sasaran badan dan jiwa, seperti kejahatan terhadap harta, agama,
Negara dan lain-lain tidak termasuk dalam jinayat, melainkan dibahas secara
terpisah-pisah pada berbagai bab tersendiri. Ulama-ulama Muta’akhirin
menghimpunya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayat, yang dikenal
dengan istilah Hukum Pidana Islam. Di dalamnya terhimpun pembahasan semau jenis
pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran badan, jiwa, harta
benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.
Pembahasan terhadap masalah yang sama dalam ilmu hukum,
dinamai Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, strafrecht.
Buku atau kitab yang memuat rincian perbuatan pelanggaran atau kejahatan dan
hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan tersebut dinamakan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam bahasa aslinya dikenal sebagai
Wetboek van Strafrecht.
Dalam mempelajari fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang
trlebih dulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama
adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini
secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang
satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna
tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan
kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan
dipahami agar penggunaanyya tidak keliru.
Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat.
Jinayah adalah masdar (kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang
mengandung arti suatu kerja yang diperuntukkan bagi satuan laki-laki yang telah
berbuat dosa atau salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan bentuk singular bagi
satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkara sebagai pembuat kejahatan atau
isim fa’il. Adapun sebutan pelaku kejahatan wanita adalah jaaniah, yang artinya
dia (wanita) yang telah berbuat dosa. Orang yang menjadi sasaran atau objek
perbuatan si jaani atau si jaaniah atau mereka yang terkena dampak dari
perbautan si pelaku dinamai mujnaa alaih atau korban.
Dr. Abdul Kadir audah dalam kitabnya At-Tasyri Al Jina’I Al
Islamy menjelaskan arti kata jinayah sebagai berikut :
Artinya:
“Jinayah
menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun
menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’, baik
perbuatan terebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta
benda.”
Jadi, pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan.
Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh
Syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai
konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda.
Menurut aliran (mazhab) Hanafi, ada pemisahan dalam
pengertian jinayah ini. Kata jinayah hanya diperuntukkan bagi semua perbuatan
yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, seperti
melukai atau membunuh. Adapun perbuatan dosa atau perbuatan salah yang
berkaitan dengan objek atau sasaran barang atau harta benda, dinamakan ghasab.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencurian dipisahkan dari pembahasan
jinayah, yang hanya membahas kejahatan atau pelanggaran terhadap jiwa atau
anggota badan. Jadi, pembahasan tentang jinayah dikhususkan bagi kejahatan
terhadap jiwa dan anggota badan, sedangkan masalah yang terkait dengan
kejahatan terhadap benda diatur pada bab
tersendiri. Adapun aliran atau mazhab lain, seperti aliran Asy-Syafi’I, Maliki,
dan Ibnu hambal, tidak mengadakan pemisahan antara perbuatan jahat terhadap
jiwa dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda (pencurian dan
kejahatan terhadap harta benda lainnya). Oleh karena itu, pembahasan keduanya
(kejahatan terhadap anggota badan, jiwa dan harta benda) diperoleh dalam
jinayah.
Tanpa berusaha memihak aliran yang berbeda tadi, kata jinayah
yang berarti perbuatan jahat, salah, atau pelanggaran sudah inklusif (mencakup)
segala bentuk kejahatan, baik terhadap
jiwa ataupun anggota badan. Oleh karena itu, kejahatan terhadap harta benda
sexcara otomatis termasuk dalam pembahasan jinayah, tanpa perlu diadakan
pemisahan dalam pembahasan di antara keduanya.
Disamping itu, pengertian jinayah pada awalnya diartikan
hanya bagi semua jenis perbuatan yang dilarang saja. Jadi, melalaikan perbuatan
yang diperintahkan dalam konteks pengertian tersebut bukanlah jinayah. Padahal suatu
perbuatan dosa, perbuatan salah, dan sejenisnya dapat berupa perbuatan ataupun
berupa meninggalkan perbuatan yang diperintahkan melakukannya. Hal ini karena
pelanggaran terhadap peraturan dapat berbentuk mengerjakan suatu perbuatan yang
dilarang (bersifat aktif) atau meninggalkan perbuatan yang berdasarkan hukum
harus dikerjakan (bersifat pasir).
Istilah yang kedua adalah jarimah. Pada dasarnya, kata
jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi, pengertian
jarimah secara harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.
Adapun pengertian jarimah sebagai berikut:
Artinya:
“Larangan-larangan
Syara’ (yang apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.”
Dalam hal ini seperti halnya kata jinayah kata jarimah pun
mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau mencakup perbuatan
ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau meninggalkan, aktif ataupun pasir. Oleh
karena itu, perbuatan jarimah bukan saja mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas
dilarang oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah kalau seseorang
meninggalkan perbuatan yang menurut peraturan harus dia kerjakan. Abdul Qadir
Audah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan bahwa kata (larangan) seperti
yang termaktub dalam definisi di atas menjelaskan sebagai berikut :
Artinya:
“Yang
dimaksud dengan mahdhurat (larangan) adalah melakukan suatu perbuatan yang
dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan.”
Dari penjelasan tersebut, dapatlah kita pahami bahwa kata
mahdrat mengandung dua pengertian. Pertama larangan berbuat artinya dilarang
mengerjakan perbuatan yang dilarang, Kedua, larangan tidak berbuat atau
larangan untuk diam artinya meninggalkan (diam) terhadap perbuatan yang menurut
peraturan harus dia kerjakan. Walaupun pengertian antara jinayah dengan jarimah
sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari, kedua kata tersebut dapat kita
bedakan.
Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa-bentuk, macam,
atau sifat dari perbuatan dosa tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan,
perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua
itu kita sebut dengan istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan
atau sifat perbuatan tadi. Oleh karena itu, kita menggunakan istilah jarimah
pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan, dan jarimah politik dan bukan
istilah jinayah pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan dan jinayah
politik.
Dari uraian di atas dapat kita ambil pengertian bahwa kata
jinayah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai
tindak pidana atau pelanggaran.
Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam hukum
positif, contoh-contoh jarimah diatas (jarimah pencurian, jarimah pembunuhan,
dan sebagainya) diistilahkan dengan tindak pidana pencurian, tindak pidana
pembunuhan, dan sebagainya. Jadi, dalam hukum positif, jarimah diistilahkan
dengan delik atau tindak pidana. Dalam hukum positif juga dikenal istilah,
perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbutan yang boleh
dihukum yang artinya sama dengan delik. Semua itu merupakan pengalihan dari
bahasa Belanda, strafbaar feit. Dalam pemakaian istilah delik lebih sering
digunakan dalam ilmu hukum secara umum, sedangkan istilah tindak pidana
seringkali dikaitkan terhadap korupsi, yang dalam undang-undang biasa dipakai
istilah perbuatan pidana.
Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti
lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya
dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan
bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih
yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan
hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut Fiqih Jinayah dan bukan
istilah Fiqih Jarimah.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari kedua istilah tersebut
adalah bahwa kedua istilah tersebut memiliki kesamaan dan perbedaannya secara
etimologis, kedua istilah tersebut bermakna tunggal, mempunyai arti yang sama
serta ditujukan bagi perbuatan yang berkonotasi negative, salah atau dosa.
Adapun perbedaannya terletak pada pemakaian, arah pembicaraan, serta dalam
rangkaian apa kedua kata itu digunakan.
BAB II
HUBUNGAN JARIMAH DENGAN LARANGAN SYARA
Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa
pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang
lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda,
keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang
harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan
suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suaatu jarimah adalah dampak dari
perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam
bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri atau gangguan
nonfisik, seperti ketenangan, ketenteraman, harga diri, adapt istiadat, dan
sebagainya.
Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah
tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya
walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan
itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran
peraturan tersebut menjadi tidak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat
memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud
adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan
tersebut. Sanksi sangat diperlukan untuk mendukung peraturan
yang dikenakan kepada perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang
bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Di samping itu, agar
perbuatan yang sama tidak ditiru orang lain. Dengan demikian terpeliharalah
kepentingan umum.
Tanpa dukungan sanksi yang menyertai larangan atau pirintah,
kita tidak dapat berharap banyak akan terciptanya kemaslahatan umum yang kita
dambakan. Dalam upaya menciptakan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kehidupan
dalam bermasyarakat, kita tidak bias hanya mengandalkan keimanan, niat baik,
kejujuran, dan sebagainya dari anggota masyarakat. Tanpa iming-iming ancaman
sanksi hukum, pelanggaran selamanya akan
menjadi preseden buruk di kemudian hari. Pelaku kejahatan akan bercermin kepada
pelaku kejahatan yang sama yang lolos dari sanksi. Bahkan kalau kita kembalikan
kepada kecenderungan sifat manusia tadi yang selalu memilih yang menguntungkan
dirinya, ketiadaan sanksi yang jelas dapat mengundang seseorang untuk
mencoba-coba melanggar aturan tadi. Akhirnya, terjadi anarki dan kemaslahatan
umum pun hanya merupakan fatamorgana yang tak mungkin singgah dalam kenyataan.
Tanpa menutup mata dari realitas yang ada dalam kehidupan
kita, dapat kita lihat banyak di antara mereka yang berhati luhur dan berakhlak
mulia. Mereka berbuat kebaikan tidak meninggalkan kewajiban, bukan karena
ketakutan mereka terhadap ancaman sanksi, melainkan berdasarkan keimanan,
ketakwaan, dan niat baik mereka. Namun jumlah mereka walaupun tidak teredapat
data yang akurat, populasinya sangat sedikit. Di sekeliling mereka dengan
populasi yang jauh lebih besar bertebaran secara spradis orang-orang yang hanya
mau tunduk karena ancaman sanksi dan takut hukum. Bahkan, mereka yang berbuat
baik karena keimanan, niat baik atau berakhlak baik pun sangat rentan terhadap
perubahan niat, kondisi, dan situasi. Hal itu menuntut adanya tindakan
antisipatif atau pagar pengaman agar mereka tidak keluar dari koridor yang
baik. Oleh karena itu, larangan tanpa ancaman sanksi, sangat tidak efektif,
tidak realitas, dan hampir tidak mungkin.
Hukuman, ancaman, sanksi memang bukan merupakan sesuatu yang
maslahat (baik), bahkan sebaiknya hukuman itu akan berakibat buruk,
menyakitkan, menyengsarakan, membelenggu kebebasan bagi pembuat kejahatan.
Namun, bila dibandingkan dengan kepentingan orang banyak, kehadiran peraturan
beserta sanksi hukumnya sangat diperlukan. Jadi, apalah arti penderitaan
segelintir pelaku jarimah kalau obsesi kemaslahatan umum yang kita dambakan.
Oleh karena itu, walaupun harus mengorbankan segelintir orang si pembuat jarimah
sanksi hukum sangat diperlukan, demi kepentingan yang bersifat lebih besar dan
lebih banyak.
Berbuat jarimah itu memang menguntungkan si pelaku dan ini
memang sesuai dengan kecenderungan manusia untuk memilih yang erbaik bagi
dirinya, dan menguntungkan dirinya mencuri, menipu, atau berzina, tidak
menunaikan kewajiban zakat bisa jadi membawa keuntungan bagi pelaku pidana atu
jarimah baik yang bersifat materi atau non materi. Akan tetapi, semua itu sama
sekali bukanlah yang mendasri pertimbangan syarat melarang perbuatan tersebut.
Artinya, bukan keuntungan perseorangan yang menjadi bahan pertimbangan bahwa
mencuri, berzina, tidak mengeluarkan zakat itu dilarang. Syara tidak melarang
mereka mencari, mengumpulkan, serta menggunakan harta tersebut, juga tidak melarang
seseorang bersenang-senang dengan wanita. Akan tetapi, perilaku mereka itu
berdampak merugikan masyarakat banyak, merusak tatanan, dan melanggar
kesusilaan. Namun bila dilakukan melalui prosedur yang sah, semau itu sangat
dianjurkan.
Jadi, dasar pertimbangan suatu perbuatan dianggap sebagai
jarimah atau tindak pidana, bukanlah karena keuntungan yang sifatnya
individual, tetapi adanya konotasi larangan tersebut, yaitu merugikan
kepentingan social. Jadi, kesimpulan diadakannya peraturan, baik perintah maupun
larangan sudah tentu berikut sanksi-sanksinya semata-mata bagi kepentingan
orang banyak, bukan kepentingan orang per orang.
Dalam hal ini Allah SWT, sebagai pembuat syari’at, pembuat
peraturan, sama sekali tidak menerima keuntungan andaikata seluruh isi ala mini
menaati seluruh peraturannya. Sebaliknya, kedurhakaan seisi ala mini pun tidak
akan merugikan Allah SWT.
Esensi untuk menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana
atqau jarimah, antara hukum islam dan hukum positif, bertemu dalam suatu pendirian,
dalam suatu tujuan yaitu, terpeliharanya kepentingan masyarakat, ketenteraman
hidup, dan kelangsungan hidup masyarakat. Meskipun ada kesamaan persepsi dalam
hal tujuan tersebut, hukum Islam dalam menetapkan suatu jarimah, tidak
bergntung pada ada tidaknya kerugian dari hasil perbuatan jarimah tadi. Seperti
kita ketahui, tujuan dari kehadiran agama Islam adalah penyempurnaan akhlak
umatnya. Oleh karena itu, segala perilaku akan dihadakan pada moral tersebut,
tak terkecuali halnya dengan jarimah. Jadi, suatu perbuatan itu dinamai jarimah
atau bukan bergantung pada sifatnya yaitu apakah perbuatan tersebut
bertentangan dengan moral atau tidak. Kalau perbuatan tersebut nyata-nyata
bertentangan dengan moral, dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak, perbuatan
tersebut dianggap sebagai jarimah.
Tolok ukur suatu jarimah (delik, tindak pidana) dari moral
atau akhlak tersebut, tidak berarti meniadakan unsur kerugian. Lagi pula
jarimah-jarimah tertentu, terutama yang menyangkut kesusilaan, unsur
kerugiannya relative sulit dibuktikan. Jadi, penetapan suatu jarimah yang
menyangkut kesusilaan akan terlepas dari jangkauan hukum. Di sampig itu, pada
dasarnya kerugian yang diderita oleh korban baik perseorangan maupun masyarakat
buruk (jarimah, tindak pidana) yang merugikan orang lain itu bermuara dari
buruknya akhlak pelaku jarimah.
Hal ini adalah suatu perbedaan yang prinsipnya, suatu nilai
lebih dari hukum Islam disbanding dengan hukum positif, di samping kesamaan
yang telah kita ketahui. Sesuai dengan misi awalnya, hukum Islam sangat
menjungjung tinggi akhlak. Sebaiknya pihak hukum positif nyaris melupakannya. Hukum
Islam menganggap suatu perbuatan itu bertentangan dengan akhlak atau tidak,
kalau ya, maka ada tidaknya kerugian, tetap dianggap sebagai jarimah.
Hukum positif tidaklah demikian. Sesuatu perbuatan itu
digolongkan tindak pidana atau bukan bergantung pada ada tidaknya kerugian atau
yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, berangkat dari untung rugi, pelanggaran
terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak dianggap sebagai tindak pidana
dan merupakan sesuatu yang masuk akal. Ini karena hukum positif merupakan
produk Barat, dan kita mahfum Barat memang longgar terhadap moral maka hukumnya
pun menganaktirikan akhlak.
Sebagai ilustrasi, dapat penulis kemukakan sebuah contoh yang
beerasal ari Barat. Dalam sebuah rubric yang dimuat surat kabar Pikiran Rakyat,
kira-kira belasan tahun yang lampau disebutkan dalam sebuah perjalanan di
sebuah kereta api subway (bawah tanah), dua orang remaja melakukan perbuatan
yang menurut etika Islam, bukan saja
tidak pantas dilakukan di tempat umum ataupun secara sembunyi, bahkan dianggap
perbuatan bejat. Mereka bercumbuan dengan asyik masyuknya di atas bangku kereta
dengan leluasa, seolah-olah tidak seorang pun melihat mereka. Tentu saja
perbuatan tersebut mengundang perhatian penumpang lainnya, termasuk mereka
yang lalu lalang mencari tempat duduk.
Akibatnya, terjadi antrian panjang di bagian tengah kereta api. Beberapa lama
kemudian petugas mengetahui penyebabnya, maka di tempat pemberhentian (stasiun)
berkutnya, kedua remaja itu digelandang petugas, namun tak lama kemudian
keduanya dilepaskan kembali. Petugas itu hanya menganggap mereka mengganu lalu
lintas di dalam kerta, tidak ada sanksi yang menyertqai pembebasan keduanya. Keputusan
tersebut memang konstitusional (menurut versi mereka), sebab jangankan Cuma
bercumbu di hadapan umum, zina sendiri bukan barang haram kalau dilakukan bukan
dengan paksaan atau dilakukan dengan kesenangan kedu belah pihak.
Dalam kasus itu, bahkan kasus induknya sekalipun (zina atau
prostitusi), sangat sulit dibuktikan adanya kerugian yang diderita pelaku.
Siapa yang menjadi korban dari perbuatan itupun sama sulitnya untuk dibuktikan.
Boleh jadi, keduanya untung alias tidak ada yang rugi. Jadi, kalau tidak ada
yang merasa dirugikan, untuk apa lagi adanya sanksi. Paling-paling, yaitu tadi,
mengganggu lalu lintas, kalau lalu lintas sudah normal atau tidak terganggu
lagi, Cuma saja tidak disuruh, lakukanlah apa mau Anda.
Dalam hukum Islam contoh kauss di atas bukan dianggap sekadar
mengganggu ketertiban. Perbuatan itu akan dianggap sebagai tindak pidana atau
jarimah-walaupun belum sampai ke dalam jarimah zina dan pasti akan dihukum.
Malahan menurut kami, perbuatan tersebut dihukum sangat berat sebab dilakukan
se ara demontratif, yang menandakan bahwa pelakunya bukan sekadar bercumbu,
tetapi congkak terhadap ketentuan Allah. Apalagi kalau diniatkan untuk melawan
ketentuan Allah, menghalalkan yang
haram, yang bisa dapat dianggap murtad dan hukumnya harus lebih berat
lagi.
Mengapa harus dihukum padahal tidak ada yang merasakan
kerugian dalam kasus seperti itu? Sebab Islam menjunjung tinggi akhlak dan
setiap pelanggaran akhlak pasti akan dihukum, dengan mengabaikan ada yang rugi
atau tidak. Perzinaan dan perbuatan ikutannya adalah pelanggaran akhlak
sehingga pelakunya harus dihukum. Bahkan, seperti yang akan kita bahas
annti-perzinaan dianggap sebagai perbuatan tindak pidana yang dikelompokkan
dalam jenis jarimah yang berat hukumannya, bukan sekadar menggangu ketertiban.
Kalau hanya dianggap hanya menggangu ketertiba, perzinaan akan dilakukan secara
tertib, tidak menggangu, tersembunyi bahkan terorganisasi dengan baik. Dalam
bentuk-bentuk seperti itu, unsur menggannggu ketertiban sama sekali tidak ada,
melainkan hanya untuk menyenangkan pelaku dan menguntungkan pengelola.
BAB III
BENTUK-BENTUK JARIMAH
Bergantung pada sudut pandang mana kita melihatnya atau aspek
yang ditonjolkan, jarimah dapat dibagi menjadi bermacam-macam bentuk dan jenis.
Macam-macam jarimah sesuai aspek yang dilihat terbagi atas:
A. Dilihat dari Pelaksanaannya
Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah
bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan
yang terlarang ataukah si pelaku tidak melaksanakan perbuatan yang
diperintahkan. Kalau si pelaku mengerjakan perbuatan yang terlarang, ia telah
melakukan jarimah secara ijabiyyah, artinya aktif dalam melakukan jarimah tadi,
atau dalam bahasa hukum positif dinamai delict commisionis. Si pelaku jarimah
jenis ini telah melakukan perbuatan maksiat, mengerjakan perbuatan yang
dilarang melaksanakannya, seperti mencuri, berzina, mabuk-mabukan, membunuh,
dan sebagainya. Bentuk kebalikannya adalah si pelaku jarimah salabiyah, artinya
pelaku pasir, tidak berbuat sesuatu atau dalam hukum positif dinamai delict
ommisionis, seperti tidak melakukan sholat, tidak membayar zakat, tidak
menolong orang lain yang sangat membutuhkan padahal dia sanggup
melaksanakannya. Sebagian ulama dalam kaitannya dengan aspek ini, memunculkan
bentuk campuran ijabiyyah (aktif) dengan salabiyyah (pasir), seperti
dicontohkan dalam kasus seperti ini, seorang bermaksud membunuh tawanan, namun
tidak dilakukan dengan cara membunuhnya, melainkan dengan menahan yang bersangkutan
di satu tempat tanpa memberinya makan dan minum sampai si tertawan itu mati.
Maka si penwan tadi didakwa telah membunuh dengan tidak berbuat sesuatu, yaitu
tidak memberi makan dan minum.
B. Dilihat dari Niatnya
Pembagian jarimah dari sudut pandang ini, terbagi ke dalam
dua bagian. Petama adalah jarimah-jarimah yang disengaja atau jaraim al-makshudah, yang diniati bahkan
direncanakan. Contohnya adalah seorang masuk ke rumah orang lain dengan maksud
untuk mencuri sesuatu dari rumah tersebut. Bentuk kebalikan dari jarimah ini
adalah jarimah tidak disengaja atau jaraim ghoir makshudah. Bentuk jarimah ini
dapat terjadi karena pertama, yaitu karena kekeliruan. Perbuatan karena
kekliruan ini, sengaja dilakukannya, namun hasil yang didapat tidak dikehendaki
oleh pelakunya. Seperti seorang melempar batu untuk mengusir binatang,
tiba-tiba batu tersebut mengenai orang lain. Celaknya orang lain tersebu adalah
karena kekeliruan, bukan kesengajaan, dia hanya sengaja melempar batu untuk
mengusir binatang, tetapi keliru hasilnya. Contoh lainnya adalah orang
menakut-nakuti dengan senjata, tetapi senjata tersebut mengenai orang yang
ditakut takuti tadi, dan sebagainya. Kedua, karena kelalaian, yaitu suatu
perbuatan yang sama sekali tidak disengaja, baik perbuatan itu sendiri maupun
hasil dari perbuatannya. Contohnya adalah seseorang membakar sampah dengan
maksud membersihkan sekeliling rumahnya. Tanpa sepengetahuannya, api membesar
dan membakar sesuatu milik orang lain. Contoh lainnya adalah seseorang yang
telah melakukan suatu pekerjaan dia tidak menyimpan alat-alat kerjanya, seperti
golok. Karena kelupaan dan kelelahannya, golok itu dibiarkannya tergeletak di
luar dan kemudian menjadi penyebab kecelakaan bagi orang yang lalu lalang.
C. Dilihat dari Objeknya
Aspek yang juga dapat membedakan bentuk jarimah adalah aspek
korban. Dalam hal ini dapat dibedakan
apakah hasil dari jarimah tersebut mengenai perseorangan atau kelompok
masyarakat. Jika yang menjadi korban itu perseorangan disebut jarimah
perseorangan dan jika yang menjadi korban itu masyarakat disebut jarimah
masyarakat. Sebagian ulama mengatakan, bila korban tersebut perseorangan, jarimah tersebut menjadi hak adami (hak
perseorangan), namun bila korbannya masyarakat, jarimah tersebut menjadi hak
jama;ah (hak Allah).
D. Dilihat dari Motifnya
Dalam keseharian, kita sering mendengar kata-kata tindak
pidana yang dikaitkan dengan masalah kenegaraan, pemerintahan, atau sesuatu
yang sifatnya politis. Jarimah politik adalah jarimah yang dilakukan dengan
maksud-maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
tujuan politik dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan
politik untuk melawan pemerintahan yang sah pada waktu situasi yang tidak
normal, seperti pemberontakan bersenjata, mengacaukan perekonomian dengan
maksud-maksud politis, dan sebagainya. Sedangkan jarimah-jarimah yang tidak
bermuatan politik dinamai jarimah biasa, seperti mencuri ayam atau
barang-barang lainya atau membunuh atau menganiaya orang-orang kebanyakan
(orang biasa).
E. Dilihat dari Bobot Hukuman
Para ulama membagi masalah jinayah menjadi tiga bagian.
Pembagian ini didasarkan terhadap bobot hkuman yang dikenakan terhadap pelaku
jarimah, sedangkan hukuman itu sendiri didasarkan atas ada tidaknya dalam nas
Al-Qur’an atau As-Sunnah. Namun, ada pula sebagian ulama yang membaginya
menjadi dua bagian karena memasukkan masalah qishash/diyat dalam kelompok
hudud, di antaranya Al-Mawardy, yang mendefinisikan jarimah sebagai berikut:
Artinya:
“Larangan-larangan
syarat yang diancam Allah Ta’ala dengan hukuman had dan ta’zir.”
Dari definisi tersebut, terdapat kata qishash secara
eksplisit. Oleh karena itu, secara implicit qishash termasuk dalam kelompok
jarimah hudud. Hal ini karena qishash/diyat dilihat dari segi dtentukannya
jenis jarimah dan jenis sanksi hukum oleh Al Qur’an atau Hadis Nabi sama halnya
dengan jarimah hudud, qishash/diyat masuk ke dalam kelompok hudud.
Namun pada umumnya para ulama membagi jenis jarimah dalam
tiga bagian, berikut ini.
1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah suatu jarimah yang bentuknya telah
dientukan syara sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya
(jumlahnya), juga ditentukan hukumannya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an
maupun As-Sunnah. Lebih dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang
menjadi hak Tuhan. Jarimah-jarimah yang menjadi hak Tuhan, pada prinsipnya
adlah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara
kepentingan, ketentramana, dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, hak Tuhan
identik dengan hak jamaah atau hak masyarakat, maka pada jarimah ini tidak
dikenal pemaafan atas perbuat jarimah, baik oleh perseorangan yang menjadi korban
jarimah (mujnaa alaih) maupun oleh negara.
Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukkan bagi setiap
jarimah. Karena hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada
pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak mempunyai batas tertinggi
maupun terendah seperti layaknya hukuman yang lain.
Dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelaku yang telah
nyata-nyata berbuat jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud tentu dengan
segala macam pembuktian, hakim tinggal melaksanakannya apa yang telah
ditentukan syara. Jadi, fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang
telah ditentukan, tidak berijtihad dalam memilih hukuman.
Karena beratnya sanksi yang
akan diterima si terhukum kalau dia memang bersalah melakukan jarimah
ini, maka penetapan asas legalitas bagi pelaku jarimah ini harus
ekstrahati-hati, ketat dalam penerapannya serta tidak ada keraguan sedikitpun
bagi hakim dalam penrapannya. Mengapa harus demikian? Karena sanksi jarimah
hudud menyangkut hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan si pembuat
jarimah. Dengan demikian, kesalahan vonis, kesalahan dalam menentukan jarimah
akan menimbulkan dampak yang buruk.
Para ulama membuat kaidah dalam menghadapi kasus-kasus yang
termasuk kelompok hudud, yaitu:
Artinya:
“Kesalahan
dalam memaafkan bagi seorang imam lebih baik daripada kesalahan dalam
menjatuhkan sanksi.”
Oleh karena itu, kalau terjadi keraguan, ketidakyakinan,
kekurangan bukti, dan sebagainya, hindarilah penjatuhan hudud tersebut, seperti
disebutkan kaidah berikut :
Artinya:
“Hindarilah
hukuman had (hudud) kaena ada keraguan (syubhat).”
Adapun jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud menurut,
para ulama, ada tujuh macam jarimah, yaitu perzinahan, qadzaf atau (menuduh
orang berzina), asyrib atau minum-minuman keras, sariqah atau pencurian,
hirabah atau pembegalan, al baghyu atau pemberontakan, dan riddah atau keluar
dari agama Islam.
2. Jarimah Qishash/Diyat
Seperti halnya jarimah hudud, jarimah qishash diyat pun telah
ditentukan jenisnya maupun besar hukumannya. Jadi, jarimah ini pun terbatas
jumlahnya dan hukumannya pun tidak mengenal batas tertinggi maupun terndah
karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.
Satu-satunya perbedaan jarimah qishash/diyat dengan jarimah
hudud adalah jarimah qishash/diyat menjadi hak perseorangan atau hak adami yang
membuka kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi
korban, wali, atau ahli warisnya. Jadi, dalam kasus jarimah qhishash/diyat ini,
korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbautan si pembuat jarimah,
meniadakan qishash, dan menggantinya dengan diyat atau meniadakan diyat sama
sekali.
Hak perseorangan yang dimaksud seperti telah disinggung hanya
diberikan kepada korban, dalam hal si korban masih hidup, dan kepada wali atau
ahli warisnya kalau korban meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang kepala
negara dalam kedudukannya sebagai penguasapun tidak berkuasa memberikan
pengampunan bagi pembuat jarimah. Lain halnya kalau si korban tidak mempunyai
wali atau ahli waris, maka kepala negara bertindak sebagai wali bagi orang
tersebut, seperti disebutkan:
Artinya
:
“Penguasa
adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”
Jadi, kekuasaan untuk memafkan si pembuat jarimah itu bukan
karena kedudukannya sebagai penguasa tertinggi suatu negara, tetapi karena
statusnya sebagai wali dari korban yang tidak mempunyai wali atau ahli waris.
Kekuasaan hakim seperti halnya pada jarimah hudud terbatas
pada penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang dituduhkan itu dapat dibuktikan.
Penjatuhan hukuman qishash pun hanya dijatuhkan hakim selama si korban atau
ahli warisnya tidak memaafkan pembuat jarimah. Kalau hukuman qishash itu
diamanatkan dan si korban atau ahli waris meminta diyat, hakim harus
menjatuhkan diyat. Namun diyat pun bias saja karena berbagai pertimbangan
dihapuskan oleh korban atau ahli warisnya. Sebagai pengganti penghapusan semua
hukuman, hakim menjatuhkan ta’zir yang tujuannya di samping sebagai ta’dib
(memberi pengajaran) juga sebagai hukuman pengganti dari dua hukuman terdahulu
yang dihapuskan korban atau ahli warisnya dan logikanya hasulah lebih ringan.
Namun demikian, karena ta’zir ini hak penguasa, hal itu terserah pada pihak yang mempunyai hak. Oleh karena itu,
bias saja hukuman ta’zir lebih besar daripada hukuman yang dignatikan tentu
saja dengan berbagai pertimbangan.
Qishash ditujukan agar pembuat jarimah (tindak pidana)
dijatuhi hukuman yang setimpal, sebagai balasan atas perbuatannya itu. Jadi,
hukuman bunuh hanya dijatuhkan bagi pembunuh dan pelukaan dijatuhi bagi orang
yang melukai. Menurut arti katanya, qishash adalah akibat yang sama yang
dikenakan kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai atau
menghilangkan anggota badan orang lain. Menurut kami, qishash ini merupakan
hukuman terbaik sebab mencerminkan keadilan dan keseimbangan, sehingga si
pembuat mendapat imbalan yang sama dan setimpal dengan perbuatannya. Kalau
sebagian kita menganggapnya sebagai hukum yang kejam perlu dilihat lebih jauh
apakah si pelaku pembunuhan itu tidak kejam? Apalagi bila dia melakukannya
terhadap orang yang tidak berhak
dihilangkan nyawanya.
Untuk menjamin ketrtiban dan keamanan yang berkeaan
dengan nyawa dan anggota badan lainnya,
qishash dipandang elbih menjamin daripada jenis hukum lainnya. Seseorang akan
berpikir dua kali untuk membunuh, misalnya, kalau akibat yang bakal dia terima
prsis seperti apa yang dia lakukan terhadap orang lain.
Perbedaan qishash dengan diyat adalah qishash merupakan bentuk hukuman bagi pelaku jarimah terhadap
jiwa dan anggota badan yang dilakukan dengan sengaja. Adapun diyat merupakan
hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku jarimah dengan objek yang sama (nyawa dan
anggota badan), tetapi dilakukan tanpa sengaja.
Jarimah yang termasuk dalam kelompok jarimah qishash/diyat
terdiri atas lima macam. Dua jarimah masuk dalam kelompok jarimah qishsh yaitu,
pembunuhan sengaja danpelukaan dan penganiayaan sengaja. Adapun tiga jarimah
termasuk dalam kelompok diyat, yaitu pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan
semi sengaja, dan pelukaan (penganiayaan) tidak sengaja. Di samping itu, diyat
merupakan hukuman pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
Diya, di samping merupakan sebuah hukuman, juga merupakan
wujud ganti rugi bagi korban. Si pelaku jarimah memberikan sejumlah harta
kepada si korban atau ahli warisnya, dengan besar kecilnya menurut jenis
jarimah yang diperbuat. Diyat dianggap sebagai hukuman, sebab seandainya diyat
diharpuskan, hakim harus menggantikan hukuman itu dengan hukuman yang lain,
yaitu hukuman ta’zir. Logikanya kalau diyat bukan suatu hukuman, hakim tidak
perlu menggantinya dengan hukuman lain bila ternyata diyat dimaafkan oleh
korban atau ahli warisnya. Adapun diyat juga dianggap sebagai ganti rugi dan
ini mirip sebab diyat diterimakan seluruhnya bagi korban atau keluarganya. Oleh
karena itu, diyat ini merupakan perpaduan antara sebuah hukuman dang anti
kerugian.
Seperti halnya jarimah hudud, penerpaan jarimah qishash/diyat
pun harus hati-hati, sifat asas legalitas jarimah ini juga ketat. Oleh karena
itu, apabila ada keraguan, ketidakyakinan terhadap jarimah ini, hukuman qishash
harus dihindari, sesuai dengan kaidah:
Artinya
:
“Hindari
hukuman had (hudud dan qishash) apabila ada keraguan.”
Seperti telah dijelaskan, apabila diliaht dari segi telah
ditetapkannya hukuman bagi jarimah dikatakan sebagai hudud. Had atau hudud itu
ditentukan. Artinya, telah ditentukan jarimah dan hukumannya. Dalam hal ini,
baik jarimah hudud maupun jarimah qishash/diyat sama-sama telah ditentukan
jenis jarimah dan jenis hukumannya. Oleh karena itulah, Al Mawardy memasukkan
qishash/diyat jarimah yang berkaitan dengan jiwa dan anggota badan) ke dalam
kelompok hudud.
Kesalahan-kesalahan hukuman bagi jarimah ini, seperti halnya
pada jarimah hudud, dapat berakibat fatal atau sekurang-kurangnya, hilangnya
anggota badan orang lain. Sebab, kalau si korban atau ahli waris tidak bersedia memaafkan si pelaku jarimah, hukuman
pun harus dijatuhkan. Jadi, walaupun dalam qishash ini terdapat hak untuk
memaafkan, kehati-hatian hakim sebagai penegak hukum tiak serta merta menjadi
longgar.
3. Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut arti katanya adalah at ta’dib artinya member
pengajaran. Dalam fiqih jinayah, ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah, yang
bentuk atau macam jarimah serta hukuman (sanksi) jarimah ini ditentukan
penguasa. Jadi, jarimah ini sangat berbeda degan jarimah hudud dan
qishash/diyat yang macam jarimah dan abentuk hukumnya telah ditentukan oleh
syara. Tidak ditentukan macam dan hukuman pada jarimah ta’zir sebab jarimah ini
berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Seperti kita
mafhum, kemaslahatan selalu berubah berkembang dari satu waktu ke lain waktu
dan dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, sesuatu dapat dianggap kemaslahatan pada suatu masa, bias
jadi tidak lagi demikian ada waktu yang lain. Demikian pula halnya, sesuatu itu
dapat dianggap sebagai jarimah karena bertentangan dengan kemaslahatan umum, tetapi di saat lain tidak
dianggap sebagai jarimah lagi karena kemaslahatan umum menghendaki demikian. Demikian
pula halnya dengan perbedaan tempat di
suatu tempat perbuatan itu dianggap sebagai jarimah, namun di tempat lain
justru dianjurkan. Pemberian kekuasaan dalam menentukan bentuk jarimah ini
kepada penguasa adalah agar mereka dapat dengan leluasa mengatur pemerintahnnya
sesuai dengan situasi dankondisi wilayahnya, serta kemaslahatan daerahnya. Oleh
karena itu, jarimah ta’zir ini juga sering disebut dengan jarimah kemaslahatan
umum. Mengenai hukuman (sanksi), syara hanya menyebutkan bentuk-bentuk hukuman,
dari yang seberat-beratnya sampai yang seringan-ringannya. Tanpa mengharuskan
hukuman tertentu untuk jarimah tertentu pula, seperti pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Dalam menangani
kasus jarimah ini, hakim diberikan keleluasaan. Dia bebas berijtihad untuk
menentukan apa yang hendak dijatuhkan kepada pembuat jarimah, sesuai dengan
macam jarimahnya dan keadaan si pembuat jarimah.
Seperti telah disinggung di atas, jarimah ta’zir itu tidak
terbilang dan tidak mungkin terbilang. Hal ini karena disamping banyaknya, juga
mungkin tejadi fluktuasi, perubahan waktu dan temapt sesuai dengan
kemaslahatannya. Namun demikian, syarat menyebutkan sebagian kecil dari jarimah
dan berlaku untuk seluruh tempat tanpa pengecualian. Jarimah ta’zir seperti ini
berlaku abadi diseluruh tempat dan tidak akan terjadi perubahan terhadapnya,
artinya perbuatan-perbuatan seperti itu akan dianggap selaanya sebagai jarimah.
Jarimah ta’zir yang ditentukan syara di antaranya adalah
khianat, suap-menyuap, memasuki rumah orang lain tapa izin, makan makanan
tertentu, ingkar janji, menipu timbangan, riba, berjudi dan sebagainya. Namun
demikian, walaupun bentuk dan hukuman jarimah ta[zir ditentukan syarat,
penerapan sanksinya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dia dapat memilih
rangkaian hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.
Hal ini karena pada dasarnya jarimah ini adalah hak penguasa.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa jarimah ta’zir itu terbagi dalam dua kategori, ta’zir syara dan
ta’zir penguasa. Dua bentuk jarimah ta’zir
tersebut memiliki perbedaannya di samping ada kesamaannya. Ta’zir syarat
ditentukan oleh syarat dan bersifat abadi, artinya sejak diturunkan oleh
pembuat syari’at dan sampai kapanpun akan dianggap sebagai jarimah. Ini karena
jarimah ta’zir syarat sejak awalnya memang telah dianggap sebagai suatu
perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena perbuatan itu sendiri
dan melakukannya dianggap perbuatan maksiat. Adapun ta’zir penguasa ditentukan
oleh penguasa dan bersifat sementara bergantung pada keadaan dan dapat
dianggapjarimah kalau memang diperlukan. Demikian pula, dapat dianggap bukan
jarimah kalau memang diperlukan. Demikian pula, dapat dianggap bukan jarimah
kalau memang menghendaki demikian. Hal ini karena pada dasarnya ta’zir penguasa
itu bukan suatu perbuatan yang dilarang mengerjakannya, namun keadaan
menyebabkan perbuatan itu dilarang.
Adapun permasaan kedua jarimah tersebut adalah sanksi
keduanya ditentukan oleh penguasa. Contohnya, perbuatan riba atau menipu
timbangan walaupun Al Qur’an menyebutnya
sebagai sautu kejahatan, hukuman kedua jarimah tersebut tidak disertakan
(tidak dijelaskan). Oleh karena itu, ketentuan sanksi perbuatan tersebut
diserahkan kepada penguasa dan hakim akan memilihnya dari rangkaian hukuman
yang ada. Demikian pula halnya dengan menipu, khianat, berjudi dan lainnya.
Penerapan asas legalitas bagi jarimah ta’zir berbeda dengan
penerapannya pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Jarimah hudud dan
qishash/diyat, seperti kita ketahui, bersifat ketat, artinya setiap jarimah
hanya diberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan syarat. Sebaliknya, jarimah
ta’zir bersifat longgar. Oleh karena itu, tidak ada ketentuan bagi tiap-tiap
jarimah secara tersendiri, seperti dua jarimah terdahulu. Itulah sebabnya, bias
terjadi hukuman jarimah yang sama bentuknya dan dilakukan dua orang akan
mempunyai sanksi yang berbeda. Di samping itu, untuk beberapa jarimah yang mempunyai kesamaan dengan jarimah lain,
tidak diperlukan peraturan (asa legalitas) yang khusus. Cukup apabila
jarimah-jarimah tersebut mempunyai kesamaan sifat yang telah ditentukan secara
umum. Oleh karena itu, kemungkinannya bias saja beberapa jarimah yang berbeda
akan mendapat hukuman yang sama. Itulah yang diamksud dengan jarimah ta’zir
bersifat elastic atau longgar.
Pemberian kekuasaan kepada hakim dalam menangani jarimah
ta’zir, tidak berarti bahwa dia dapat berbuat seenaknya (tahakumiyah).
Misalnya, seorang hakim menjatuhkan hukuman, terhadap tindakan itu tidak
semestinya. Hal ini karena pada dasarnya, semua jarimah tlah memiliki aturan,
sedangkan pemberian kekuasaan bagi hakim adalah memilih hukuman yang sesuai
dengan keadaan sehingga akan mencerminkan isi hukuman itu sendiri dan
menerapkan keadilan bagi seluruh manusia.
BAB IV
SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
Pengertian hukum pada dasarnya adalah apa-apa yang
difirmankan Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang yang dibebani hukum
(mukallaf) dan dituntut pelaksanaannya. Itulah yang dinamai dengan syarat atau
jalan yang harus ditempuh. Dengan pengertian itu maka hukum syarat’a adalah hukum
yang dijalani atau dipatuhi oleh mereka yang dibebani hukum, yakni orang
mukallaf. Jika tidak dilaksanakan, si mukallaf tersebut mempunyai konsekuensi hukum
tertentu.
Firman Allah yang menjadi syari’at tersebut adalah semau yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril dalam bentuk
wahyu. Kodifikasi firman tersebut disebut A-Qur’an Al Karim atau Al-Kitab.
Sebagai imbagnan kata Sunnah Rasulullah, Al Qur’an terkadang disebut juga
dengan Sunnah Allah (jalan Allah).
Jumhur Fuqaha sepakat bahwa Al Qur’an adalah sumber hukum
yang pertama sekaligus yang utama, sepanjang di dalamnya terdapat
ketentuan-ketentuan yang dimaksud. Oleh karena itu, ketentuan Al Qur’an
mengikat bagi setiap muslim, bagaimanapun juga macam hukum tersebut.
Al Qur’an sebagai kitab suci Allah dan sebagai sumber yang
utama diturunkan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk wahyu, untuk
selanjutnya divisualkan dalam bentuk huruf Arab kemudian dikodifikasikan dalam
bentuk mashaf. Mushaf tersebut berisi ayat=ayat yang diturunkan di kota Mekkah
atau ayat-ayat Makkiyah dan sebagian lagi ayat-ayat yang diturunkan di Madinah
atau ayat-ayat Madaniyyah. Al Qur’an terdiri atas 114 surat, dimulai dari surat
Al Fatihah dan diakhiri surat An Nas dan terbagi dalam tiga puluh juz.
Al Qur’an diturunkan secara tawatur, berturut-turut dan tidak
secara sekaligus. Al Qur’an dilisankan melalui Rasulullah SAW, dan ditulis para
sahabat. Ini memberikan keyakinan kepada kita akan kebenaran isi Al Qur’an. Leh
karena itu, nash-nash Al Qur’an dinamai qath’iyyul wurud (pasti kebenarannya).
Kata-kata dalam Al Qur’an bila dilihat dari sudut dalalahnya (penunjukannya
terhadap hukum) terbagi dalam dua bentuk. Pertama, penunjukannya kepada hukum
(dalalah) disebut qath’I atau qath’iyyud dalalah. Artinya kata-kata yang qath’I
dalalahnya hanya mempunyai satu pengertian. Kedua, penunjukannya terhadap hukum,
disebut dhanny atau dhanniyyud dalalah, artinya penunjukannya terhadap hukum
hanya berdasarkan dugaan yang kuat. Dalam ungkapan lain, kata-kata yang dhanny
dalalahnya mempunyai dua rti atau lebih. Oleh karena itulah, sering terjadi
ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara
para ulama. Apabila seorang ulama berpendapat (memegang) salah satu dari
satu kata yang dhanny, tidak berarti bahwa itulah arti yang sebenarnya karena
pengertian yang mereka pegang itu hanyalah dugaan kuat mereka.
Dalam Al Qur’an tidak pernah terjadi perselisihan huruf atau
kata kata apalagi perselisihan kalimat (Arab : jumlah). Ini disebabkan sejak
Rasulullah SAW. Al Qur’an telah ditulis oleh para sahabat, disamping mempunyai
penghafal penghafal bentuk, letak huruf, kata-kata atau kalimat dalam Al Qur’an. Penghafal
penghafal Al Qur’an itu sampai hari ini dan seterusnya akan meemonitoring
bentuk, huruf, dan sebagainya. Oleh karena itu, kekeliruan sedikitpun tentang
Al Qur’an sangat akan terdeteksi secara dini dan penghafal penghafal Al Qur’an
sangat sensistif terhadap penyimpangan, baik bunyi maupun kesalahan cetak.
Apalagi Allah Ta’ala sendiri telah menjamin kelestarian eksistensinya dan
bentuknya, dengan firman Nya dalam surat Al Hijr ayat 9:
Artinya:
“Sesungguhnya
telah kami turunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami akan tetap memeliharanya.”
Pada pokoknya Al Qur’an mengatur hukum yang berkenaan dengan
kepercayaan dan ibadah kepada Allah yang bersifat vertical dan hukum-hukum yang berkaitan dengan interaksi kemanusiaan,
bersifat horizontal. Kandungan yang terakhir ini meliputi masalah-masalah
keluarga, kepidanaan, keperdataan, dan sebagainya.
Ketentuan hukum dalam Al Qur’an, terutama yang menyangkut
kemasyarakatan seperti kepidanaan memiliki akibat ganda, yaitu di dunia dalam
bentuk hukuman pidana dan di akhirat dalam bentuk sisksa. Hal tersebut dapat
kita lihat dalam firman Allah SWT.:
Artinya
:
“Barang
siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya neraka
jahanam yang kekal serta murka dan laknat atasnya dan Allah menyediakan baginya
azab yang pedih.”
Dalam
surat Al Maidah ayat 33, Allah berfirman:
Artinya:
“……bagi
mereka itu kehinaan (hukuman) di dunia ini dan siksa yang sangat pedih di
akhirat.”
Jadi, pelaku perbuatan jarimah akan mendapat hukuman di dunia
ini sesuai dengan jenis jarimahnya dan juga akan mendapat siksa Allah SWT. Di
akhirat nanti. Begitu pun halnya perbuatan yang dilakukan di dunia ini (berbuat
jarimah) telah dibalas dengan hukuman di dunia ini, tidaklah serta merta
hilangnya hukuman ukhrawi. Itu bergantung pada diterima tidaknya tobat yang bersangkutan oleh Allah SWT.
Selain ayat di atas, masih ada ayat lain yang menunjukkan
bahwa pelaku suatu perbuatan jahat akan mendapat hukuman baik di dunia maupun
di akhirat:
Dalam surat Al Baqarah 217 Allah berfirman:
Artinya
:
“Barang
siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran,
maka itulah orang yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah
penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.”
Pada Surat Al Baqorah: 257 Allah
berfirman:
Artinya
:
“Dan
orang-orang yang kafir pelindung-pelindungnya adalah setan yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran), mereka itu adalah
penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.”
Kemudian dalam surat An Nisa ayat
10, Allah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya
bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Apa yang terkandung dalam Al Qur’an kemudian dijelaskan oleh
Rasulullah SAW, dalam bentuk lisan atau perbuatan. Bentuk-bentuk yang berkaitan
dengan syari’at ini dinamai Sunnah Rasul atau jalan Rasul, yang kadangkala
disebut dengan sunnah Rasul atau jalan
Rasul, yang kadangkala disebut dengan sunnah saja. Kata-kata sunnah dalam fiqih
Islam selama tidak ada embel-embel lain dimaksudkan sebagai sunnah Rasul tadi.
Inilah sumbeer hukum yang kedua. Lengkapnya, sunnah ialah semua yang
diriwayatkan dari Rasul Allah SAW. Baik perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan sahabat (qauliyyah, fi’liyyah, ataupun
taqririyyah).
Dengan demikian, sumber hukum yang kedua setelah Al Qur’an
adalah As Sunnah. As Sunnah berfungsi sebagai penguat (mu’akkid) hukum yang
difirmankan Allah dalam Al Qur’an, serta penjelas pengertian, pembtasan dari
keumuman, memeberikan rincian, dan sebagai hukum baru selama tidak termaktub
secara eksplisit maupun implicit dalam Al Qur’an.
Urutan ketiga dalam hirarki sumber hukum pidana Islam adalah
ijma. Ijma merupakan produk dari kebulatan pendapat ulama Mujtahid pada suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah SAW., baik dalam forum pertemuan atau
terpisah. Status hukumnya dianggap qath’ie sehingga kaum muslimin wajib untuk
menaatinya.
Kewajiban kita mengikuti ijma adalah disebabkan keputusan
yang dihasilkan dari produk ijma tersebut tidak dilakukan semena-mena, mempunyai
sandaran, dan berpijak kepada sumber-sumber terdahulu. Ijma harus ditegakkan di
atas aturan-aturan yang umum serta roh syari’at. Oleh karena itu, meskipun
pendapat tersebut keluar dari berbagai negeri dan bangsa yang berbeda,
kebulatan pendapat tersebut menunjukkan loyalitas mereka terhadap kebenaran
syari’at. Itulah sebabnya, hukum yang berasal dari ijma itu sesuai dengan
prinsip-prinsip dan roh syari’at. Satu hal lagi adalah umat Islam sebagai umat
Nabi Muhammad SAW., tidak akan berkolaborasi dalam kesalahan. Seperti yang
disabdakan Nabi Muhammad SAW., dalam sebuah hadis :
Artinya
:
“Tidak
akan bersepakat umatku dalam kesalahan.”
Kalau umat Nabi yang umumnya manusia biasa atau orang
kebanyakan saja tidak akan bersepakat dalam membuat kesalahan, apalagi
umat-umat pilihan, ulamat-ulama, para mujtahidin. Keputusan mereka bukan untuk
kepentingan pribadi, tetapi demi kepentingan umat. Di samping itu, keputusan
mereka tidak akan keluar dari
prinsip-prinsip umum dan roh syari’at dan bukan karena akal semata.
Apabila menghadapi suatu masalah kontemporer, sering akli
kita tidak menemukan ketentuan hukumnya dalam al Qur’an, sunnah Rasul ataupun
ijma. Cara menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengikuti ketentuan
yang telah ada (telah diketahui) hukumnya di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah),
kemudian menarik kesimpulan bahwa ketentuan yang telah ada hukumnyatersebut,
dapat diberlakukan karena adanya persamaan secara analogis. Cara semacam ini
dalam terminology fiqih disebut dengan qiyas. Kebanyakan ulama mengganggapnya
sebagai sumber hukum yang keempat.
Kehujahan melalui metode analogis ini menurut jumhur ulama
adalah sah. Oleh karena itu, dapat diterima sebagai hujjah syar’iyyah. Artinya perbuatan-perbuatan yang diqiyaskan
itu dapat mempunyai kekuatan hukum asalkan persyaratan kumulatif dari masalah
tersebut dipenuhi. Namun demikian, menurut Ahmad Hanafi keberadaan qiyas
sebagai sumber hukum masih diperselisihkan, tidak seperti tiga sumber hukum
yang sebelumnya, yang keberadaannya telah disepakati para ulama.
Menurut Ahmad Hanafi, Al-Qur’an dan As Sunnah merupakan
sumber dan dasar syari’at Islam, sedangkan sumber-sumber yang selainnya (ijma
dan qiyas) kurang tepat dikatakan sebagai sumber. Di samping tidak membawa
aturan-aturan dasar yang baru yang bersifat umum, keduanya lebih tepat disebut
sebagai sebuah metodologi ketimbang sumber hukum. Sekalipun dalam kenyataannya,
ijma dan qiyas itu merupakan cara pengambilan hukum dari dua sumber utama dan
kedua (Al Qur’an dan As Sunnah).
Pneggunaan keempat sumber hukum tersebut, harus sesuai dengan
urutan (berurutan atau tertib). Hal ini karena urutan tersebut menggambarkan
tingkat dan martabat sumber hukum tersebut berdasarkan skala prioritas. Artinya
urutan terakhir hanya dapat dipertimbangkan manakala tidak dijumpai dalam
urutan sebelumnya. Dalam hal ini, Al Qur’an menjelaskan keempat sumber hukum
tersebut, berikut gradasi (tingkat) kedudukannya.
Allah SWT. Berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 59:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Allah dan
orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Apabila kamu berselisih
paham dalam suatu hal, kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan kepada Rasul
Allah (As Sunnah) jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Hal ini dijelaskan pula oleh sebuah hadis, yang menceritakan
Tanya jawab antara Nabi Muhammad SAW. Dengan Muadz bin Jabal ketika Muadz
dilantik Nabi menjadi gubernur Yaman:
Artinya
:
“Bagaimana
kamu memutuskan suatu perkara? “Kuhukumi dengna kitab Allah, “Jawabnya. Jika
kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah? “Dengan Sunnah Rasulullah, “jawab
Muazd. Jika engkau tidak temukan dalam Sunnah Rasul? Muazd menjawab, “ Aku akan
menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya.” Rasulullah
lalu menepuk dadanya seraya memuji sambil berkata, “Al Hamdulillah, Allah telah
member taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridai Allah dan
Rasul Nya.” (H.R. Ahmad, Abdu Dawud, dan Turmudzi).
Dalil Al Qur’an hadist tentang Muaddz bin Jabal di atas, memberikan penjelasan kepada
kita tentang tata cara penggunaan dalil (beristidhlal) dalam berhujah, yaitu
secara tertib berdasarkan urutan dan tertib ayat. Pertama-tama kita harus
menggunakan dalil Al Qur’an selama di dalamnya terdapat ketentuan mengenai hal
yang diamksud, baik secara eksplisit (termaktub dengan jelas) maupun secara
implicit (tersirat). Kalau masalah tersebut tidak ditemukan dalam Al Qur’an,
langkah selanjutnya adalah mencdarinya dalam Sunnah Rasul, yaitu Al Hadist.
Kalimat yang menyebutkan taatilah Allah dan taatilah Rasul adalah petunjuk bagi
kita untuk mengikuti Al Qur’an dan mengikuti As Sunnah. Kalau dalam kedua sumber tersebut tidak didapati, kita
harus mengikuti pendapat orang-orang yang mempunyai kekuasaan (ulul amri).
Lafaz ulil amri artinya pemegang segala urusan dan itu bersifat umum. Oleh
karena itu, ulul amri terdiri atas orang-orang yang mengurus masalah duniawi,
seperti presiden, raja, dengan para pembantunya serta lembaga-lembaga
kenegaraan lainnya. Mereka juga terdiri atas orang-orang yang mengurus masalah
keagamaan seperti ulama, mujtahid, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kalau
semua komponen dari ulil amri telah sepakat untuk menetapkan suatu ketentuan hukum
atas suatu perkara, seluruh rakyat wajib menaatinya, seperti halnya menaati
perintah Allah dan Rasulullah.
Kalau dalam ketiga sumber tersebut tidak didapati, kita
berupaya secara sungguh-sungguh untuk mengqiyas kan (menganalogikan) perkara
yang belum ada ketentuan hukum tadi dengan peristiwa serupa yang telah
mempunyai ketentuan hukum yang jelas. Namun demikian, tidak semua perkara kontemporer dapat dianalogtikan (diqiyaskan)
sebab penetapan status hukum suatu perkara dengan metode analogis hanya dapat
dilakukan apabila persyaratan-persyaratan untuk terpenuhi.
Di samping keempat sumber tadi, masih ada sumber hukum atau
metode penetapan hukum yang lain. Namun keberadaan sumber-sumber selain yang
empat itu masih diperselisihkan keberadaannya. Oleh karena itu, status
penerapannya diperselisihkan, mengikat atau tidaknya. Di antaranya adalah
istishab, istihsan, maslahah, mursalah, syari’at sebelum kita, adat istiadat,
dan mazhab sahabat.
BAB V
ASAS LEGALITAS
Apabila menghadapi suatu persoalan hukum yang tidak terdapat
aturannya, kita harus menetapkannya sebagai kebolehan. Artinya, semua perbuatan
atau tidak berbuat atau yang berkaitan dengan suatu barang dianggap sebagai
suatu kebolehan yang asli bukan suatu kebolehan yang berasal dari syari’at. Mengerjakan
atau meninggalkan perbuatan seperti itu tidak mempunyai konsekuensi hukum
tertentu, tanpa membedakan siapa
pelakunya, anak-anak atau dewasa, sehat pikirannya atau terganggu. Semua
manusia selama tidak ada ketentuan diberi kebebasan melakukan perbuatan
tersebut atau meninggalkan perbuatan tersebut. Oleh Karena itu , dalam
menghadapi masalah yantg tidak ada hukum haram, kita harus mengembalikannya
pada kebolehan, sebagai suatu kemurahan dari Yang Mahakuasa untuk menghilangkan
kesulitan bagi manusia.
Ketentuan di atas dimungkinkan karena adanya aturan pokok
(kaidah ushul) yang menunjukkan ahl tersebut:
Artinya:
“Pada
dasarnya status hukum segala sesuatu itu diperbolehkan sampai ada dalil
(petunjuk) yang menunjukkan keharamannya.”
Maksudnya, selama tidak ada ketentuan yang berkenaan dengan
masalah tersebut, status hukum masalah tersebut adalah boleh (ibahah, jaiz,
atau halal). Dalil tersebut berlaku umum bagi segala sesuatu yang tidak
mempunyai ketentuan khusus.
Kebolehan tadi tertuju bagi semua orang, sehat akalnya atau
sakit ingatan, telah masuk taklif atau tidak, atau belum masuk taklif. Oleh
karena itu, apabila dia mengerjakan atau tidak mengerjakan (meninggalkan)
perbuatan tersebut, dia tidak dikenai hukuman samapi hadirnya ketentuan yang
menyatakan perbuatan tersebut harus dikerjakan atau harus ditinggalkan. Aturan
pokok yang berkaitan dengan hal tersebut adalah:
Artinya:
“Tidak
ada hukuman bagi perbuatan manusia yang berakal sebelum turunnya (sebelum
adanya) nash (aturan).”
Jadi, semua perbuatan tidak dipandang sebagai suatu
pelanggaran atau jarimah sebelum nyata-nyata ada aturan (nash atau lainnya)
yang berkatian dengan masalah tersebut. Hal ini karena hukuman atau sanksi hukum
harus berkaitan dengan aturan atau nash.
Di samping itu, suatu perbuatan dianggap sebagai suatu jarimah (delik atau
tindak pidana) tidaklah cukup hanya
sekadar dilarang peraturan saja. Akan tetapi, bersamaan denganperaturan
tersebut disertakan pula, konsekuensi apa yang akan diperoleh kalau seandainya
erbuatan itu dikerjakan atau ditinggalkan. Sebab tanpa akibat hukum yang jelas,
tanpa sanksi yang jelas yang menyertai peraturan tersebut, pelanggaran terhadap
aturan tidak mempunyai arti apapun bagi pelaku. Itu berarti pelakunya tidak
dianggap telah berbuat jarimah dan dia tidak dapat dihukum.
Aturan-aturan untuk mengerjakan atau meninggalkan perbuatan
tersebut, jauh-jauh sudah diketahui khalayak. Oleh karena itu, harus
disebarluaskan, disosialisasikan sehingga khalayak mengetahui adanya peraturan
yang mengatakan keharusan untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan suatu
perbuatan. Tanpa disosialisasikannya peraturan tersebut, mana mungkin khalayak
mengetahui aturan dimaksud sehingga hal tersebut rentan terhadap pelanggaran.
Dalam hal ini, Allah sebagai pembuat syari’at (syari’) tidak
mengazab suatu bansa, sebelum Allah memberikan pemberitahuan, penjelasan
terlebih dahulu peraturan tersebut melalui utusan-utusan Nya. Hal tersebut
dapat kita lihat dalam surat Al Isra, ayat 15 dan surat Al Qashas ayat 59:
Artinya
:
“Tidaklah
kami mengazab suatu kaum, kecuali kami telah kirim (rasul) sebelumnya.”
Artinya:
“Dan tidaklah
Tuhanmu menghancurkan kediamanmu, kecuali Tuhan telah mengutus rasul Nya yang
membawa ayat-ayat Tuhan. Dan tidaklah Tuhan menghancurkan kediamanmu, kecuali
penduduknya berbuat zalim.” (Q.S. Al Qashash : 59)
Peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pembuat syari’at
tadi, merupakan dasar hukum bagi setiap perbuatan (mengerjakan atau
meninggalkan) yang terjadi setelah kehadiran peraturan tersebut. Inilah yang oleh hukum positif disebut dengan asas
legalitas, landasan untuk berpijak dalam mengatasi setiap pelanggaran hukum.
Tanpa asas legalitas, setiap perbuatan bebas dari segala macam hukuman.
Asas legalitas telah diterangkan dalam Al Qur’an yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW. Itu berarti asas ini dianggap sudah diketahui khalayak,
sebab tealh disebarluaskan. Asas ini telah ada jauh sebelum hukum positif yang
dipelopori Prancis ketika Negara ini memperkenalkan hal yang sama kepada
khalayak ramai melalui dunia perundang-undangan. Oleh karena itu, tidak ada alas
an manusia tidak mengetahui hukum menghindar dari ancaman hukuman.
Mengetahui hukum tidaklah diartikan sebagai hafal secara
detil tentang pasal-pasal hukum, namun atas dasar bahwa yang bersangkutan
mengetahui peraturan tersebut. Oleh karena itu, orang dewasa yang sempurna
akalnya dianggap telah mengetahui hukum. Atas dasar ini tidak dapat diterima
alas an seorang untuk menghindar dari hukum karena alas an belum mengetahui
hukum tersebut. Dalam mengantisipasi hal semacam ini, para ulama membuat suatu
aturan:
Artinya:
“Tidak
diterima di negeri Islam halangan kebodohan (tidak atau belum mengetahui)
hukum-hukum syari’at sebagai alas an (untuk menghindar dari hukum).
BAB VI
UNSUR-UNSUR JARIMAH
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pengertian jarimah
terpulang pada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan pelakunya dapat
diancam dengan hukuman. Larangan tersebut adakalanya larangan untuk berbuat dan
adakalanya larangan untuk tidak berbuat. Yang dimaksud dengan larangan berbuat
adalah larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang jelas-jelas dilarang
oleh syara, seperti berzina, mencuri, dan sebagainya. Adapun larangan tidak
berbuat adalah seseorang tidak melaksanakan sesuatu yang menurut ketentuan
harus dia lakukan atau dengan ungkapan lain, dia meninggalkan suatu perbuatan
yang menurut ketentuan harus dilakukan, misalnya seseorang yang tidak mau
menolong orang lain yang sangat memerlukan pertolongan, padahal dia sanggup
melakukannya.
Ketentuan untuk tidak melakukan atau untuk meninggalkan
perbuatan yang termasuk dalam kategori jarimah harus mempunyai sandaran yang
jelas dan berasal dari ketentuan-ketentuan nash syara. Oleh karena itu, berbuat
atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah apabila terhadap perilaku tersebut
tersedia ancaman hukuman.
Begitu pula, nash Al Qur’an, Sunnah Nabi, atau
peraturan-peraturan lainnya, harus hadir lebih awal dibandingkan dengan
perintah berbuat atau tidak berbuat tadi. Tidak boleh sebaliknya. Artinya perbuatan
atau tidak berbuat hadir lebih dahulu, sedangkan ketentuan yang berkaitan
dengan itu dibuat kemudian.
Setiap peraturan (perintah atau larangan) sebelum
diberlakukan, terlebih dahulu harus disebarluaskan agar diketahui oleh umum
atau disosialisasikan terlebih dahulu. Seperti halnya undang-undang atau
peraturan pemerintah, walaupun dibuat tidak secara langsung diterapkan atau
diberlakukan, tetapi disosialisasikan lebih dahulu sampai jangka waktu
tertentu, misalnya UU No. 1/1974 diberlakukan mulai 1 April 1975-Undang-undang
Lalu Lintas 1992, diberlakukan 17 September 1993. Setelah peraturan itu hadir
dan berlaku, perbuatan yang dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah dapat
dinilai sebagai perbuatan yang melawan hukum atau tidak.
Larangan-larangan tersebut berasal dari ketentuan syara’
sehingga hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat karena memahami maksud
ketentuan tersebut dan sanggup menerimanya. Hal ini karena pada hakekatnya,
perintah atau larangan merupakan suatu beban sehingga si penerima beban harus
memahami dan menyanggupinya. Paham artinya mengerti isi kewajiban (perintah
atau larangan), sedangkan sanggup artinya dapat mengerjakan atau meninggalkan
perbuatan tersebut. Orang yang tidak mengerti isi perintah (tidak paham) dan
orang-orang yang tidak kuasa memikul beban karena suatu sebab, tidak mungkin
menerima beban tadi, misalnya orang-orang yang hilang ingatan dan anak-anak
yang tidak terpanggil oleh larangan-larangan syara’.
Orang yang dapat memahami dan sanggup menerima beban menurut
ilmu fiqih dinamai mukallaf, (orang yang dibebani). Oleh karena itu, mereka
berkena khitbah (panggilan) untuk menerimanya.
Sebagai contoh, seseorang yang mengambil barng yang diduga
bukan miliknya telah menyebabkan hilangnya milik seseorang dan menyebabkan
kerugian. Namun kita belum dapat menyebutnya sebagai jarimah pencurian sebelum
mencari undang-undang, peraturan, dan sebagainya tentang kasus tersebut. Bila
ditemui adanya aturan pelarangan untuk memindahkan, memiliki barang orang lain
tanpa prosedur yang sah (membeli atau meminjam atau mendapat bagian) dan
ketentuan tersebut telah lama ada sebelum perbuatan pemindahan barang tersebut
dilakukan, dan oran gyang melakukannya dianggap telah mengetahui peraturan
tersebut, kita belum dapat menghukumi si pelaku bahwa dia telah melakukan suatu
jarimah dan dapat dihukum. Kita tidak dapat hanya mengandalkan adanya kehadiran
asas legalitas saja dan belum cukup untuk menilai perbuatan itu sebagai suatu
jarimah.
Langkah selanjutnya adalah meneliti kualitas pelaku perbuatan
apakah pelakunya mukallaf atau bukan. Apabila perbuatan tersebut di lakukan
oleh orang yang dianggap mukallaf, pelaku tersebut dapat dikenai hukuman. Akan
tetapi, kalau dilakukan oleh orang yang telah berubah akalnya (karenanya tidak
memahami beban) atau dialkukan oleh anak-anak, hukuman tersebut tidak dapat
diberlakukan walaupun perbuatan tersebut jelas dilarang oleh asas legalitas,
melawan hukum, dilarang syara, dan merugikan orang lain. Alasannya adalah
orang-orang tersebut dianggap tidak memahami isi beban (perintah atau larangan)
dan tidak atau belum sanggup memikul beban.
Dalam hal ini Abdul kair Audah berkata, “Bahwasanya syari’at
tidak membebani, kecuali terhadap orang-orang yang mampu memahami dalil (paham
isi perintah dan dianggap mengetahui aturan) serta dapat menerima atau memikul
beban, tidka pula syari’at membebani seseorang, kecuali bila diasumsikan beban
itu dapat dipikulnya dan orang tersebut dianggap mengetahui dan dapat
menaatinya.”
Hal senada dikemukakan Al Qhazali bahwa perbuatan-perbuatan
tersebut harus dilakukan oleh orang-orang yang berakal yang dianggap memahami
khithab dari nash, aturan dan sebagainya. Oleh sebab itu, tidak selayaknya
menghadapkan khithab kepada benda mati atau binatang bahkan tidak sah
menrapkannya kepada orang gila dan anak-anak.
Tentang sejauh mana seorang mukallaf mengetahui hukum atau
aturan, Abdul Wahab Khallaf memberikan penjelasan, “Yang dimaksud dengan
pengetahuan mukallaf terhadap hukum, tidak diartikan sebagai hafal aturan
teksbook, hafal ayat, nash Al Qur’an atau Hadits, pasal-pasal dalam KUHP
Pidana, dan lain-lain. Akan tetapi , cukup berdasarkan asumsi bahwa yang
bersangkutan dianggap mengetahui karena dia termasuk seorang yang mukallaf.
Oleh karena itu, alas an seorang mukallaf tidak mengetahui hukum tatkala dia
didakwa melakukan kesalahan atau pelanggaran, tidak dapat diterima. Anggapan
yang sama juga berlaku dalam hukum positif bahwa semua orang yang dianggap
mengetahui hukum.
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan
bahwa untuk dianggap atu dikategorikan suatu jarimah, suatu perbuatan harus
smemiliki beberapa persyaratan atau beberapa unsur, Unsur-unsur tersbut adalah
berikut ini.
1. Unsur Formal atau Rukun Syar’i
Yang dimaksud dengan unsur formal atau rukun syar’I adalah
adanya ketentuan syara atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan perbuatan ayng oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dpaat
dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang
dimaksud. Dketentuan tersebut harus dating (sudah ada) sebelum perbuatan
dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut dating setelah
perbuatan trjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Dalam hal ini
berlakukah kaidah-kaidah berikut :
Artinya
:
“Pada
dasarnya segala sesuatu itu boleh.”
Artinya:
“Tidak
ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan).”
Artinya:
“Tidak
ada hukuman bagi orang-orang yang berakal sebelum turunya ayat.”
Ketentuan-ketentuan yang mendasari suatu tindakan yang telah
dibuat terlebih dahulu seperti yang telah dijelaskan dalam hukum posistif yang
dikenal dengan asas legalitas dalam KUHP Pidana pasal 1 ayat (1) dijelaskan
sebagai berikut :
“Sesuatu perbuatan tidak boleh
dihukum, melainkan atas kekuatan aturan hukum dalam undang-undang yang diadakan
lebih dahulu dari perbuatan itu.”
2. Unsur Material atau Rukun Maddi
Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku
yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Kalau kita kembalikan kepada kasus di
atas bahwa pencurian adalah tindakan pelaku memindahkan atau mengambil barang
milik orang lain, tindakan pelaku tersebut adalah unsur material yaitu,
perilaku yang membentuk jarimah. Dalam hukum positif, perilaku tersebut disebut
sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.
3. Unsur Moril atau Rukun Adaby
Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al jiniyyah atau
pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak
pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Oleh karena itu, pembuat jarimah (tindak pidana,k delik) haruslah
orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban
tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki criteria tersebut adalah orang-orang
yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khithab (panggilan) pembebanan
(taklif).
Unsur-unsur yang telah kami sebutkan tadi adalah unsur-unsur
yang bersifat umum. Artinya unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan
berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana atau delik). Jadi, pada
jarimah apapun ketiga unsur itu harus terpenuhi. Di samping itu, terdapat unsur
kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jarimah yang
lain. Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja
tidak akan ditemukan pada jarimah yang lain. Sebagai contoh, memindahkan
(mengambil) harta benda oaring lain hanya ada pada jarimah pencurian atau
menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pemunuhan.
BAB VII
TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH
A.
Pengertian
Suatu perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan
secara perseorangan dan adakalanya dilakukan secara berkelompok. Bahasan kita
selanjutnya adalah perbuatan jarimah yang dilakukan oleh beberapa orang.
Turut serta melakukan jarimah ialah melakukan jariah secara
bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh
orang lain, member bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari definisi
tersebut, dapat diketahui, sedikitnya ada dua pelaku jarimah, baik dikehendaki
bersama, secara ketetulan, sama-sama melakukan perbuatan tersebut atau member
fasilitas bagi terselenggaranya suatu jarimah.
Adhmad Hanafi membagi kerja sama dalam berbuat jarimah dalam
empat kemungkianan:
1. Pelaku melakukan jarimah bersama-sama
orang lain (mengambil bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara
kebetulan melakukan bersama-sama.
2. Pelaku mengadakan persepakatan dengan
orang lain untuk melakukan jarimah.
3. Pelaku menghasut (menyuruh) orang
lain untuk melakukan jarimah.
4. Orang yang memberi bantuan atau
kesempatan jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut serta melakukannya.
B. Turut Berbuat Langsung
Turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah dinamai
isytirak mubasyir, sedangkan pelakunya dinamai syarik mubasyir. Turut berbuat
langsung dalam pelaksanaanya terbagi dalam dua bentuk berikut.
Pertama, turut berbuat langsung secara tawafuq, artinya si
peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Ia melakukannya tanpa kesepakatan
dengan orang lain dan juga tanpa dorongan orang lain melainkan atas kehendak
pribadinya atua refleksi atas suatu kejadian di hadapannya. Jadi, setiap pelaku
dalam jarimah yang turut serta dalam bentuk tawafuq ini tidak saling mengenal
antara satu dan lainnya. Dalam melakukan perbuatan tersebut, mereka tidak
melakukan kesepakatan untuk merencanakan secara kolektif. Tiap-tiap pelaku jarimah
secara psikologis terbawa oleh peristiwa yang sedang berlangsung dihadapannya.
Umpamanya, ketika terjadi demonstrasi atau tawuran pelajar, sering dimanfaatkan
oleh orang lain yang melihatnya. Di antaranya, ada yang mengambil kesempatan
untuk berbuat sesuatu, mencuri, merusak atau memperkosa wanita-wanita yang
ketakutan.
Kedua, turut berbuat langsung secara tamalu. Dalam hal ini,
para peserta sama-sama menginginkan terjadinya suatu jarimah dan bersepakat
untuk melaksanakannya. Namun, dalam pelaksanaan jarimah, masing-masing peserta melakukan fungsinya sendiri-sendiri,
seperti dalam kasus pembunuhan, beberapa orang yang bersepakat membunuh
seseorang tidak membunuh (menusuk dengan pisau) secara bersamaan. Di antara mereka ada yang
memegang, memukul, atau mengikat. Namun dalam hal pertanggungjawaban, mereka
semua bertanggungjawab atas kematian korban.
Dalam hal pertanggungjawaban pada jarimah turut serta secara
tawafuq (kebetulan), keb anyakan ulaam mengatakan bahwa setiap pelaku
bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya, tanpa dibebani hasil perbuatan
yang dilakukan oleh yang lainnya. Akan tetapi, dalam turut serta secara tamale
(disepakati, direncanakan), semua pelaku jarimah bertanggungjawab atas hasil
yang terjadi. Dalam kasus pembunuhan misalnya, seluruh pelaku jarimah tadi
bertanggungjawab atas kematian si korban. Namun, menurut Abu hanifah, hukuman
bagi tawafuq dan tamale adalah sama saja. Mereka dianggap sama-sama melakukan
perbuatan tersebut dan bertanggungjawab atas semuanya.
Menurut riwayat Daruquthni seperti dikutip Asy Syaukani
ketentuan turut serta berbuat langsung adalah hadis dari Abu Hurairah berikut :
Artinya
:
“Dari
Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW. “Apabila seorang laki-laki memegangi
(korban), sedangkan laki-laki lain membunuhnya, maka dibunuh bagi orang yang
membunuhnya dan dikurung bagi orang yang memeganginya.”
Dalil tersebut menurut
Asy Syaukani menunjukkan bahwa qishash hanya dikenakan bagi orang yang
membunuhnya saja, sedangkan bagi orang yang memegang, hukumannya adalah
dikurung. Kahalany juga berpendapat
demikian tanpa menyebutkan kadar waktunya.
An Nisa’I, Imam Malik, dan Abi Laila berpendapat bahwa
terhadap orang yang memegangi korban dalam kasus pembunuhan, juga dikenai hukum
qishash, sebab dia dianggap sebagai mubasyir (pelaku) pembunuhan juga. Menurut
mereka, pembunuhan tersebut tidak mungkin terjadi secara sempurna, tanpa
keterlibatan orang yang meemgangi korban.
C.
Turut Serta Tidak Langsung
Yang disebut dengan turut serta tidak langsung, menurut Ahmad
Hanafi adalah sebagai berikut : setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum atau menyuruh
(menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dengan disertai kesengajaan
dalam kesepakatan dan menyuruh serta member bantuan.
Mengenai hukuman perserta berbuat tidak langsung, menurut hukum
Islam adalah hukuman ta’zir, sebab jarimah turut berbuat tidak langsung tidak ditentukan oleh syara, baik bentuk
maupun macam hukumnya. Jarimah yang ditentukan syarat seperti telah kita
ketahui hanya jarimah hudud dan qishash/diyat saja. Kedua bentuk jarimah
tersebut (hudud dan qishash/diyat) hanya tertuju pada jarimah yang diperbuat
secara langsung, bukan untuk kawan berbuatnya (pembuat tidak langsung).
Perbuatan tidak langsung merupakan illat dan menunjukkan kesyubhatan (kesamaan)
dalam perbuatan jarimah, sedangkan syubhat dalam hudud (jarimah hudud dan
qishash/diyat) menurut kaidah, harus dihindari. Oleh karena itu, sanksi pelaku
jarimah turut serta secara tidak langsung adalah hukuman ta’zir, bukan hudud
atau qishash.
Perbedaan yang disebutkan di atas hanya berlaku bagi jarimah
hudud dan qishash/diyat saja dan tidak berlaku bagi jarimah ta’zir. Dalam
jarimah ta’zir, tidak ada perbedaan hukuman antara pembuat langsung dan pembuat
tidak langsung. Kedua pelaku langsung atau tidak langsung sama-sama dianggap
telah melakukan jarimah ta’zir dan hukumannya tentu saja hukuman ta’zir pula.
Di samping itu, pemberi kekuasaan terhadap hakim, dalam hal menjatuhkan hukuman
bagi ealku jarimah ta’zir, menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak
signifikan.
Akan tetapi, dalam kasus-kasus tertentu, pembuat tidak
langsung bias saja dianggap sebagai pembuat asli. Dalam praktek misalnya,
pembuat langsung hanya merupakan alat atau kepanjangan tangan dari pembuat
sebenarnya, yaitu pembuat tidak langsung. Dalam kehidupan keseharian sering
kita sebut dengan istilah otak dari peristiwa atau actor intelektual. Menurut
Imam Malik, pembuat dikenai hukuman qishash (dalam hal pembunuhan) atau dikenai
hukuman lebih berat atau mungkin sama beratnya dalam jarimah yang termasuk
kelompok ta’zir.
BAB VIII
HUKUMAN
A.
Pengertian
Menurut kamus bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito,
hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam
bahasa Arab hukuman disebut dengan iqab (singular) dan uqubah (plural), yang
pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama seperti S. Wojowasito dalam
kamusnya di atas.
Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai
berikut:
Artinya
:
“Hukuman
adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk
kemaslahatan masyarakat.”
Dari definisi tersebut, dapat kita kemukakan bahwa hukuman
merupakan balasan ang setimpal atas perbuatan pelaku kejaahtan yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan
lian, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan
sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan
yang diterima si pelaku akibat pelanggaran (makiat) perintah syara.
B.
Dasar Hukum
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya
menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang
menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai
ketentuan, baik berdasarkan Al Qur’an, Hadis Nabi, maupun berbagai ketentuan
dari ulil amri atau lembaga legislative yang mempunyai wewenang menetapkan
hukuman bagi kasus-kasus ta’zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya
menyelamatkan umat manusia dari ancaman kejahatan.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:
Surat Shad ayat 26:
Artinya
:
“Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah di muka bumi ini, maka
berikanlah keputusan (hukuman) diantara manusia dengan adil dan janganlah
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan siksa
yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan”
Surat An Nisa ayat 135:
Artinya
:
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kam orangyang benar-benar sebagai penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dari kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Janganlah kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kami
kerjakan.”
Surat An Nisa ayat 58:
Artinya
:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada mereka yang berhak menerimanya
dan apabila menetapkan hukum di antara mansuia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Sabda Rasulullah SAW
Artinya
:
“Dari
Abu Hurairah dari ayahnya dari
Rasulullah SAW, mengabarkan bahwa Rasulullah bersabda, “Qadhi-qadhi
(hakim-hakim) itu ada dua golongan, satu golongan di surge dan satu golongan di
neraka. Adapun qadhi yang ada di surge ialah qadhi yang mengetahui kebenaran lalu
dia memberikan keputusan berdasarkan kebenaran. Adapun qadhi yang mengetahui
kebenaran lalu dia curang dalam mengambil keputusan dia ditempatkan di neraka.
Dan seorang qadhi yang member keputusan berdasarkan kebodohan, dia juga
ditempatkan di neraka.” (HR. Abu Dawud)
C.
Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah
menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar radu waz zahru) dan
kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-ishlah wat tahdzib). Dengan tujuan
tersbut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di
samping itu, juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak
melakukan hal yang sama.
Seperti telah dijelaskan pada bagian lain bahwa perbuatan
tindak pidan atau jarimah itu, mengandung dua pengertian. Pengertian pertama,
adalah si pelaku melakukan pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang dilarang,
maka pencegahan pada bentuk seperti ini adalah mencegahnya untuk melakukan
perbuatan yang dilarang tersebut.
Pegnertian kedua, si pelaku tidak mengerjakan perbuatan yang diperintahkan atau
si pelaku meninggalkan suatu kewajiban. Pemberian hukuman pada jenis ini
ditujukan agar si pelaku menghentikan ketakacuhannya terhadap kewajiban. Dengan
adanya sanksi yang dijatuhkan, si pelaku di tergerak untuk melaksanakan
kewajiban tersebut.
Di samping itu, jarimah juga bertujuan untuk mengusahakan
kebaikan serta pengajaran bagi pealku jarimah. Dengan tujuan ini, pelaku
jarimah diarahkan dan dididik untuk melakukan perbuatan baik serta meninggalkan
perbuatan jahat. Pada awalnya si pelaku jarimah merasakannya sebagai pemaksaan terhadap dirinya untuk melakukan
sesuatu yang tidak disenanginya, namun pada tahap berikutnya timbul kesadaran
bahwa perbuatan tersebut memang harus dia kerjakan atau harus dia tinggalkan
bukan karena ancaman hukumn. Pada tahap ini, pelaku suatu tindak pidana sebagai
sesuatu yang tidak dia sukai, sesuatu yang menurut agamanya terlarang. Penghentiannya
terhadap suatu perbuatan pidana tidak hanya karena ketakutan terhadap sanksi
duniawi, namun kesadaran dirinya bahwa kelak dia aakn mempertanggungjawabkan
perbuatannya di hadapan Yang Maha Kuasa, meskipun di dunia ini dia sempat lolos
dari jangkauan kekauasaan.
Dalam aplikasinya, hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa
tujuan, sebagai berikut :
Pertama, untuk memelihara masyarakat. Dalam kaitan ini
pentingnya hukuman bagi pelaku jarimah sebagai upaya menyelamatkan
masyarakat dari perbuatannya. Pelaku
sendiri sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan masyarakat yang
banyak, maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan. Kalau tidak demikian,
kepentingan yang lebih banyak, yaitu masyarakat, akan terancam oleh perbuatan
perseorangan tersebut. Kejahatan itu sendiri merupakan penyakit yang ada pada
anggota masyarakat, maka untuk mengobati penyakit itu dan menjauhkannya dari
masyarakat. Dengan demikian, hukuman itu pada hakikatnya adalah obat untuk
menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku kejahatan agar masyarakat
terhindar dari penyebarannya. Walaupun pada kenyataannya hukuman itu merupakan
penderitaan bagi yang berbuat kejahatan, ketiadaan hukuman bagi pelaku
kejahatan menyebabkan penderitaan tersebut berpindah pada orang yang lebih
banyak. Dalam ketentuan umum (kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus
didahulukan daripada kepentingan perseorangan:
Artinya
:
“Kemaslahatan
umum didahulukan dari kemaslahatan khusus.”
Oleh karena itulah, hukum mengorbankan kesenangan perseorangan
untuk menciptakan kesenangan orang banyak. Dalam hukum positif disebut dengan prevensi umum, yaitu
pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai (kepada semua orang), agar tidak
melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum. Tujuan ini dimaksudkan agar
pelaku menjadi jera dan takut. Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan di
hadapan umum agar berdampak sugestif bagi orang lain.
Kedua, sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusu bagi
pelaku. Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan
yang sesuai dengan perbuatannya. Dengan balasan tersebut, pemberi hukuman
berharap terjadinya dua hal. Pertama, pelaku diharapkan menjadi jera karena
rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan
yang sama di masa dating. Kedua, orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku
sebab akibat yang sama juga kan dikenakan kepada pniru. Jadi, pada hakikatnya
harapan yang kedua ini adalah upaya memblokade kejahtan sehingga kejahatan
tersebut cukup hanya dilakukan oleh seorang saja dan tidak diikuti oleh yang
lainnya. Kalau si pelaku tidak mengulangi perbuatannya atau tidak melakukan
perbuatan jahat lainnya dan orang lain tidak meniru perbuatan pelaku karena
akibat negative yang akan diterimanya, terciptalah ketenteraman dan
kemaslahatan umum.
Ketiga, sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan
tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya mendidiknya agar
menjadi orang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Dia diajarkan bahwa
perbuatan yang dilakukannya telah menggangu hak orang lain, baik materil
ataupun moril dan merupakan perkosaan atas hak orang lain. Di samping itu,
mengingatkan pelaku tentang kewajiban yang seharusnya dia kerjakan (dalam hal
pelaku brbuat jarimah pasif, tidak melakukan kewajiban).
Dari segi ini, pemberian hukuman tersebut adalah sebagai
upaya mendidik pelaku jarimah mengetahui akan kewajiban dan hak orang lain.
Seperti halnya upaya sebelumnya, uapay pendidikan dan pengajaran ini juga
berlaku bagi orang lain, yaitu mengajarkan masyarakat akan hak dan
kewajibannya.
Keempat, hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku
jarimah akan mendapat balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Menurut kami,
itulah yang didefiniskan Abul Qadir Audah pada awal pembicaraan kita. Menjadi
suatu kepantasan setiap perbuatan dibalas dengan perbuatan lain yang sepadan,
baik dibalas dengan perbuatan baik dan jahat dibalas dengan kejahatan pula dan
itu sesuatu yang adil. Al Qur’an memberikan keterangan:
Artinya
:
“Barang
siapa berbuat kebaikan walaupun sebiji sawi akan dibalas dengan kebaikan pula.
Dan barang siapa yang membuat kejahtan walauopun sebiji sawi akan mendapatkan
balasan berupa kejahatan pula.” (Q.S. Al Zalzalah : 7-8)
Artinya:
“Balasan
kejahtan itu adalah kejahatan yang semisalnya….” (Q.S. Asy Syura : 40)
Kalau tujuan-tujuan penjatuhan hukuman di ats tidak dapat
tercapai, upaya terakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan penjahat.
Artinya pelaku kejahatan tertentu yang sudah sangat sulit diperbaiki, dia hrus
disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum
Islam juga berpendirian sama, yaitu kalau dengan cara ta’dib (pendidikan) tidak
menerakan si pelaku jarimah dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat,
hukuman ta’zir bias diberikan dalam bentuk hukuman mati atau penjara tidak
terbatas.
Dari aplikasi tujuan-tujuan hukum, tujuan akhirnya atau
tujuan pokoknya adalah menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik
dan menjauhi perbuatan jelek, mengetahui
kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang lain sehingga apa yan diperbuatnya
di kemudian hari berdasrkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan
ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya semata-mata karena
kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum.
D.
Macam-macam Hukuman
Mengenai macam-macam hukuman ini, Prof. H. A. Djazuli
membaginya sebagai berikut :
Pertama, ditinjau dari segi terdapat dan tidak terdapatnya
nash dalam Al Qur’an atau Al Hadis, hukuman dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu
hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina,
pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang menzihar istrinya
(menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2. Hukuman yang tidak ada nashnya,
hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan jarimah, jarimah-jarimah hudud dan
qishsh/diyat yang tidak selesai, dan jarimah-jarimah ta’zir itu sendiri.
Kedua, ditinjau dari sudut kaitan antara hukuman yang satu
dengan hukuman lainnya, terbagi menjadi empat:
1. Hukuman Pokok (al uqubat al
ashliyyah), yaitu hukuman utama bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi
pembunuh yang membunuh dengan sengaja, hukuman diyat bagi pelaku pembunuhan tidak sengaja, dera (jilid) seratus
kali bagi pezina ghair muhsan,
2. Hukuman pengganti (al uqubat al
badaliyyah), hukuman yang menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli)
yang karena suatu sebab tidak dapat dilaksanakan, seperti hukuman ta’zir
dijatuhkan bagi pelaku karena jarimah had yang didakwakan mengandung unsur
kesamaran atau syubhat atau hukuman diyat dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja
yang dimaafkan keluarga korban. Dalam hal ini hukuman ta’zir merupakan
pengganti dari hukuman pokok yang tidak bias dijatuhkan, kemudian hukuman diyat
sebagai pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
3. Hukuman tambahan (al uqubat al
taba’iyyah), yaitu hukuman yang dikenakan mengiringi hukuman pokok. Seseorang
pembunuh pewaris, tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4. Hukuman pelengkap (al uqubat al
takhmiliyyah), yaitu hukuman untuk melengkapi hukuman pokok yang telah
dijatuhkan, namun harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Hukum
pelengkap ini menjadi pemisah ari yang hukuman tambahan tidak memerlukan
keputusan tersendiri seperti, pemecatan suatu jabatan bagi pegawai karena
melakukan tindak kejahatan tertentu atau mengalungkan tangan yang telah
dipotong di leher pencuri.
Ketiga, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan
bert ringannya hukuman, hukuman terbagi atas dua macam:
1. Hukuman yang mempunyai batas
tertentu, artinya hukuman yang telahditentukan besar kecilnya. Dalam hal ini
hakim tidak dapat menambah atau mengurangi hukuman tersebut atau menggantinya
dengan hukuman alin. Ia hanya bertugas menerapkan hukuman yang telah ditentukan
tadi seperti, hukuman yang termasuk ke dalam kelompok jarimah hudud dan
qishash/diyat.
2. Hukuman yang merupakan alternative
karena mempunyai batas tertinggi dan terendah. Hakim dapat memilih jenis
hukuman yang dianggap mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Kebebasan hakim ini,
hanya ada pada hukuman-hukuman yang termasuk kelompok ta’zir. Umpamanya hakim
dapat memilih apakah si terhukum akan dipenjarakan atau didera (jilid),
mengenai penjara pun hakim dapat memilih, berapa lama dia dipenjarakan.
Keempat, ditinjau dari segi objek yang dilakukannya hukuman,
terbagi dalam :
1. Hukuman badan, yaitu hukuman yang
dikenakan terhadap anggota badan manusia seperti hukuman potong tangand an
dera.
2. Hukuman yang dikenakan terhadap jiwa,
seperti hukuman mati, Ahmad Hanafi memasukkan hukuman mati dalam hukuman badan,
sedangkan H. A. Djazuli memasukkannya ke dalam hukuman terhadap jiwa, bukan
badan atau nyawanya, tetapi hukuman yang bersifat psikologis, seperti ancaman,
peringatan, atau teguran.
3. Hukuman yang dikenakan terhadap
hilangnya kebebasan manusia atau hilangnya kemerdekaan, seperti pengasingan
atau penjara. Ahmad Hanafi memasukkan hukuman penjara dalam hukuman dengan
objek badan, sedangkan H. A. Djazuli, memasukkannya dalam bagian tersendiri.
4. Hukuman terhadap harta benda si
pelaku jarimah, seperti perampasan (penyitaan), diyat, dan denda.